Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menceritakan program hilirisasi pada masing-masing komoditas mineral menghadapi tantangannya sendiri.
Namun, jika bisa menarik benang merah masalah, sejatinya setiap komoditas memerlukan kepastian pasar hilir agar industrialisasi dapat terwujud.
Ketua Komite Tetap Minerba Kadin Indonesia, Arya Rizqi Darsono menilai program hilirisasi yang dicanangkan oleh pemerintah adalah program yang sangat baik sebagai jalan bagi Indonesia menuju negara industri. Pun dengan begini, Indonesia berhak menentukan nasib sendiri tanpa harus didikte oleh negara lain.
Hilirisasi juga adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No 3 Tahun 2020, di mana setiap penambang diwajibkan untuk melakukan Peningkatan Nilai Tambah.
Baca Juga: Pasokan Bahan Baku ke Smelter Melambat, Pengusaha Minta Roadmap Hilirisasi Dievaluasi
Dengan hilirisasi, potensi ekonomi yang didapatkan tentunya akan bertambah baik dari sisi penerimaan negara maupun lapangan kerja dan lainnya.
Meski begitu, program hilirisasi tidak semudah itu dijalankan. Ada banyak tantangan tersendiri yang mendera tiap-tiap komoditas mineral.
Misalnya di sektor bauksit. Setelah diberlakukan moratorium ekspor bijih bauksit pada pertengahan tahun ini, terjadi kelebihan pasokan bijih bauksit karena hanya ada empat fasilitas pemurnian yang mampu menadah produksi nasional.
Rizqi menerangkan, jika melihat data produksi 2022, Indonesia memproduksi 27 juta ton bijih bauksit. Sedangkan fasilitas pemurnian hanya bisa menyerap 14 juta ton. Apabila jumlah produksi tetap sama, akan ada idle 13 juta ton bijih bauksit. Tentu ini berpengaruh pada kelangsungan bisnis penambang.
“Kemudian dari sisi tembaga, saat ini masih diberikan relaksasi ekspor (konsentrat tembaga) sampai tahun depan karena melihat progress pembangunan smelter yang sudah melampaui 50%,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (8/10).
Baca Juga: Tak Lagi tambah Tenant, Ini Penjelasan CEO Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP)
Dalam catatan Kontan.co.id, sektor tembaga harus membuktikan penyelesaian pembangunan smelter di tahun depan untuk menghadapi tantangan berupa kebijakan pelarangan ekspor konsentrat tembaga.
Kemudian dari komoditas timah, hilirisasi sudah selesai karena Indonesia sudah bisa memproduksi timah dengan tingkat kemurnian yang tinggi yaitu 99,99%. Bahkan sudah ada bursa komoritas sendiri untuk timah sehingga proses jual beli sudah transparan.
Namun, dalam informasi yang dirilis dalam website Pemerintah Provinsi Bangka Belitung, hingga saat ini timah dijadikan komoditas ekspor karena terbatasnya ekosistem industri pelanggan akhir di dalam negeri seperti elektronik, konstruksi, manufaktur makanan kaleng dan perusahaan food & beverages (F&B).
Demikian halnya dengan teknologi dan tenaga kerja. Keterbatasan pengetahuan dalam pengolahan timah tingkat lanjut dan inovasi hilirisasi yang dapat mendorong peningkatan produk dan operasional menjadi tantangan besar. Begitu juga keterbatasan insentif pajak dan kurangnya dukungan finansial.
Baca Juga: Pasokan Bijih Nikel untuk Smelter Melambat, Ini Respon Kementerian ESDM
Padahal timah bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari yakni untuk produk pelapis baja untuk alat rumah tangga dan kendaraan, serta produk aluminium foil untuk kemasan makanan dan pelapis kaleng. Selain itu, timah juga digunakan dalam industri listrik, elektronik, otomotif, dan kaca.
Kemudian, hilirisasi nikel juga menghadapi tantangannya sendiri. Rizqi menyampaikan, kurangnya pasokan bijih nikel ke smelter saat ini merupakan buntut kasus hukum Blok Mandiodo yang sedang dalam penyidikan oleh Aparat Penegak Hukum.
“Maka itu, pelaku usaha terpaksa harus melakukan impor dari luar negeri, padahal Indonesia memegang posisi pemilik sumberdaya dan cadangan terbesar di dunia. Di sini kita bisa melihat, jumlah smelter nikel tidak berimbang dengan jumlah nikel yang diproduksi,” jelasnya.
Kadin tidak menampik, sumber daya dan cadangan nikel Indonesia besar, tetapi jumlah yang diproduksi dan dipasok tidak sesuai dengan kebutuhan smelter.
Baca Juga: Tiga Anggota MIND ID Group Raih Penghargaan Subroto Award 2023
Rizqi mengusulkan, perlu dipertimbangkan untuk dilakukan moratorium pembangunan smelter yang menggunakan teknologi Rotary Klin Electric Furnace (RKEF) dan meningkatkan smelter Hydrometallurgy yang mengolah nikel menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.
“Menurut kami, juga perlu ada keseimbangan akan supply dan demand dalam pembangunan smelter maupun alumina plant untuk semua komoditas,” tandasnya.
Sejauh ini komunikasi Pemerintah dengan Kadin Indonesia terkait hilirisasi mineral sudah sangat baik. Dia berharap, program hilirisasi ini melibatkan campur tangan perbankan nasional dalam kaitan pembiayaan.
Juga perlu ada kepastian pasar yang akan menyerap produk hilirisasi menjadi industrialisasi dan ketersediaan energi yang murah dan handal dalam menunjang program hilirisasi.
Baca Juga: Pemerintah akan Lelang 10 Wilayah Izin Usaha Pertambangan Minerba, Berikut Daftarnya
Penyerapan hasil dari hilirisasi bahan tambang juga memerlukan roadmap yang jelas dan terukur termasuk tata kelola yang mengatur dari sisi hulu sampai dengan hilir.
Kadin Indonesia juga berharap dapat dilibatkan lebih lanjut dalam penyusunan peraturan maupun kebijakan terkait mineral kritis pasca terbitnya Keputusan Menteri ESDM Nomor 296 Tahun 2023 tentang Penetapan Jenis Komoditas yang Tergolong dalam Klasifikasi Mineral Kritis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News