Reporter: Filemon Agung | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan larangan ekspor bijih nikel tetap akan berlaku mulai 1 Januari 2020 sesuai Peraturan Menteri ESDM No 11 Tahun 2019.
Kepala Subdirektorat Pengawasan Usaha Eksplorasi Mineral Andri Budhiman Firmanto mengungkapkan pemerintah perlu mengambil momentum ketika dirasa perlu. "Momentum tidak datang dua kali, kontribusi di sektor nikel Indonesia sangat besar," terang Andri di Jakarta, Selasa (2/10).
Kementerian ESDM mencatat, Indonesia memiliki porsi cadangan nikel terbesar di dunia mencapai 23,7%. Selain itu, produksi bijih nikel tercatat sebesar 560.000 ton Ni dan merupakan yang terbesar di dunia.
Andri menjelaskan, keputusan larangan ekspor dirasa tepat sebab mengingat upaya hilirisasi yang coba dilaksanakan pemerintah. "Semisal masih diekspor, sementara di China industri kendaraan listrik sudah hadir, momentum itu yang harus digunakan sebaiknya," sebut Andri.
Baca Juga: Kementerian ESDM siapkan regulasi untuk menggenjot eksplorasi tambang mineral
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mempertanyakan konsistensi pemerintah dalam menyusun regulasi.
Menurutnya, hal ini berdampak pada kepastian hukum bagi para investor. "Jika ada percepatan, apakah industri sudah siap dengan perubahan skema?" tanya Ahmad.
Ahmad mengungkapkan kekhawatiran efek dari larangan ekspor terhadap defisit neraca perdagangan.
Menanggapi hal tersebut, Andri memastikan, larangan ekspor bijih nikel tidak akan berdampak signifikan bagi neraca perdagangan. "Kontribusi penjualan tidak signifikan, hanya US$ 350 juta, pasti ada dampak namun tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh," tegas Andri.
Andri meyakinkan, larangan ekspor tidak akan mempengaruhi pembangunan smelter di Indonesia. "Dari 30 smelter yang akan dibangun, 10 di antaranya sudah di atas 30% dimana berarti sudah financial closure sehingga tinggal jalan saja," terang Andri.
Lebih jauh, Ahmad menekankan pentingnya harmonisasi sektor hulu dan hilir dalam usaha memanfaatkan produksi nikel bagi kebutuhan domestik.
Baca Juga: Setelah larangan ekspor nikel, bagaimana nasib mineral mentah lain?
"Hulu dan hilir Indonesia belum nyambung, dan tidak mudah membangun, kita butuh dukungan negara lain," ujar Ahmad.
Senada, Kasubdit Industri Logam Kementerian Perindustrian Sri Bimo Pratomo mengungkapkan, pemerintah tengah mengupayakan pengembangan industri yang memanfaatkan bijih nikel kadar rendah.
"Sedang dibangun industri yang menggunakan teknologi hydrometalurgi untuk menghasilkan nikel kobalt sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik," jelas Bimo.
Selain itu, Bimo menambahkan, saat ini telah berkembang industri blast furnace untuk menghasilkan stainless steel kadar nikel rendah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News