Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Yudo Dwinanda menjelaskan, demi mencapai target net zero emission (NZE) di 2060 Indonesia memerlukan energi baru yang terjangkau untuk didapatkan.
Kementerian ESDM semakin siap mengakomodasi pemanfaatan sejumlah energi baru (EB) yakni hidrogen hijau hingga nuklir di Indonesia.
“Kami fokuskan energi baru pada nuklir, hidrogen, dan ammonia,” jelasnya di acara UOB Gateway to ASEAN Conference 2023 di Jakarta, Rabu (11/10).
Baca Juga: Transisi Energi Penting Untuk Dipercepat, Ini Alasannya
Yudo menceritakan, penerapan energi nuklir di Indonesia masih terus dibicarakan secara intensif. Belum lama ini, di ajang International Atomic Energy Agency (IAEA) General Conference 2023, rencana Indonesia menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) disambut baik. Adapun IAEA siap membantu penerapannya.
Sedangkan dari sisi energi hidrogen, saat ini Pemerintah Indonesia sedang mengkaji peta jalan nasional hidrogen. Dokumen ini akan berisi rencana penerapan hidrogen di Indonesia hingga tahun 2060 sehingga akan diatur regulasi, standar, infrastruktur, teknologi, supply-demand, dan lain-lain.
“Jadi kita punya strategi bagaimana mengembangkan hidrogen. Kalau amonia kan sudah pasti ikut hidrogen,” jelasnya.
Asal tahu saja, hidrogen hijau akan memainkan peran penting dalam dekarbonisasi sektor transportasi yang akan dimulai pada tahun 2031, dan sektor industri dimulai pada tahun 2041
Hidrogen telah dimanfaatkan di Indonesia dalam sektor industri, terutama sebagai bahan baku pupuk. Konsumsi hidrogen di Indonesia saat ini berkisar 1,75 juta ton per tahun, dengan pemanfaatan didominasi untuk urea (88%), amonia (4%) dan kilang minyak (2%).
Baca Juga: Biaya Transaksi Bursa Karbon Diskon 50% Hingga Akhir Oktober 2023
Kementerian ESDM dan pemerintah Jerman melalui Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit GmbH (GIZ) telah mempelajari potensi pasar hidrogen hijau di Indonesia, sekitar 1.895 kT/tahun pada tahun 2021, termasuk untuk industri (Urea, Amonia, Refinery, Methanol), dan permintaan lainnya seperti pembuatan biofuel, baja hijau, jaringan pulau, dan sel bahan bakar kendaraan berat.
Selain nuklir dan hidrogen, Yudo menambahkan, di 2060 mendatang sumber energi di Indonesia akan datang dari pembangkit hijau seperti surya sehingga baterai PLTS juga tidak kalah penting.
“Kita bangun fasilitas baterai storage untuk PLTS untuk menyipan energi panas,” jelasnya.
Di sisi lain, Indonesia juga akan mengandalkan energi panas bumi yang dapat diandalkan sebagai salah satu tulang punggung beban listrik dasar (baseload).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News