Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
Lebih lanjut Johnson bilang, permintaan tersebut sulit untuk dipenuhi. Dia membeberkan, saat ini royalti dihitung menggunakan formulasi harga mana yang lebih tinggi antara harga patokan dengan harga jual.
Hal itu dilakukan untuk mencegah praktik kecurangan seperti transfer pricing, yang mana pemegang izin melakukan transaksi antara anak perusahaan maupun trader yang terafiliasi. "Sehingga harga aktual pun belum tentu menggambarkan harga yang sebenarnya. (Formulasi yang berlaku) justru untuk menghindari transaksi perusahaan yang tidak wajar," jelas Johnson.
Sedangkan untuk penundaan pembayaran, Johnson khawatir jika permintaan itu dikabulkan, bakal mengganggu arus kas penerimaan negara yang saat ini tertekan pandemi Covid-19. Menurut Johnson, dengan logika perusahaan pun mendapatkan pembayaran kontrak di muka, maka hal yang sama seharusnya diberlakukan oleh perusahaan untuk membayar kewajiban ke pemerintah.
Baca Juga: Pasar tertekan, harga batubara acuan (HBA) Juni kembali melorot ke US$ 52,98 per ton
Dia juga menyatakan, pembayaran royalti di muka juga mempermudah pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perusahaan, serta kontrol terhadap penerimaan negara supaya tetap stabil.
"Kalau perusahaan menerima pembayaran di muka, pemerintah juga mendapatkannya. (Jika ada penundaan) ini akan sangat mengganggu cash flow pemerintah. Kalau itu nggak bisa janji penerimaan negara bisa bertahan" kata dia.
Menurutnya, usulan insentif dari APBI memang merupakan hal biasa dan wajar diajukan oleh pelaku usaha di masa pandemi. Namun, Kementerian ESDM masih bergeming untuk tetap memungut royalti seperti biasa.
"Pimpinan kami (Menteri ESDM) tidak mengarahkan untuk memperbolehkan, tetap sesuai ketentuan," sebutnya.