Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan sinyal tegas untuk menolak permintaan insentif berupa relaksasi pembayaran royalti bagi pelaku usaha batubara.
Direktur Penerimaan Minerba Kementerian ESDM Johnson Pakpahan menilai, permintaan insentif dari Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) tidak mendesak. Menurutnya, relaksasi royalti bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap penerimaan negara.
Padahal, di tengah kondisi pandemi Covid-19 ini, pemerintah banyak mengeluarkan dana sehingga perlu optimalisasi penerimaan.
Baca Juga: Pelaku usaha batubara ajukan insentif di masa pandemi, apa saja yang diminta?
"Kalau saya nggak mau relaksasi, karena belum melihat itu urgent, dampaknya banyak," kata Johnson dalam webinar yang digelar Publish What You Pay dan Yayasan Indonesia Cerah, Jum'at (5/6).
Adapun, pada pertengahan Mei lalu, APBI mengajukan sejumlah usulan sebagai insentif, antara lain berupa perubahan sementara tata cara pembayaran royalti batubara dalam masa pandemi Covid-19.
APBI mengusulkan, formula dapat diubah sementara dengan menggunakan harga jual aktual, yang umumnya menggunakan index-linked. Bukan dengan sistem saat ini yang menggunakan Harga Patokan Batubara (HPB). Sedangkan untuk pembayarannya, APBI meminta agar dilakukan paling tidak 30 hari setelah komoditas batubara berada di atas moda pengangkutan.
Lebih lanjut Johnson bilang, permintaan tersebut sulit untuk dipenuhi. Dia membeberkan, saat ini royalti dihitung menggunakan formulasi harga mana yang lebih tinggi antara harga patokan dengan harga jual.
Hal itu dilakukan untuk mencegah praktik kecurangan seperti transfer pricing, yang mana pemegang izin melakukan transaksi antara anak perusahaan maupun trader yang terafiliasi. "Sehingga harga aktual pun belum tentu menggambarkan harga yang sebenarnya. (Formulasi yang berlaku) justru untuk menghindari transaksi perusahaan yang tidak wajar," jelas Johnson.
Sedangkan untuk penundaan pembayaran, Johnson khawatir jika permintaan itu dikabulkan, bakal mengganggu arus kas penerimaan negara yang saat ini tertekan pandemi Covid-19. Menurut Johnson, dengan logika perusahaan pun mendapatkan pembayaran kontrak di muka, maka hal yang sama seharusnya diberlakukan oleh perusahaan untuk membayar kewajiban ke pemerintah.
Baca Juga: Pasar tertekan, harga batubara acuan (HBA) Juni kembali melorot ke US$ 52,98 per ton
Dia juga menyatakan, pembayaran royalti di muka juga mempermudah pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perusahaan, serta kontrol terhadap penerimaan negara supaya tetap stabil.
"Kalau perusahaan menerima pembayaran di muka, pemerintah juga mendapatkannya. (Jika ada penundaan) ini akan sangat mengganggu cash flow pemerintah. Kalau itu nggak bisa janji penerimaan negara bisa bertahan" kata dia.
Menurutnya, usulan insentif dari APBI memang merupakan hal biasa dan wajar diajukan oleh pelaku usaha di masa pandemi. Namun, Kementerian ESDM masih bergeming untuk tetap memungut royalti seperti biasa.
"Pimpinan kami (Menteri ESDM) tidak mengarahkan untuk memperbolehkan, tetap sesuai ketentuan," sebutnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, mendukung langkah pemerintah untuk tidak mengabulkan permintaan insentif dari pelaku usaha batubara.
Enny menilai, permintaan insentif tersebut tidak memiliki landasan yang kuat. Menurutnya, penghitungan royalti harus tetap mengacu pada harga patokan. Apalagi, harga patokan tersebut dinilai cukup fair dengan menghitung indeks harga serta dievaluasi setiap bulan.
"Jika memakai harga jual, bisa suka-suka. Sedangkan pemerintah dalam memberikan harga acuan tidak suka-suka, ada panduannya, dan dikoreksi setiap bulan," jelas dia.
Baca Juga: Konsumsi anjlok, PLN revisi serapan batubara domestik
Dia juga berpandangan, kewajiban seperti royalti yang diberikan pelaku usaha batubara tergolong kecil jika dibandingkan margin keuntungan yang dinikmati. Dalam perhitungannya, rata-rata kewajiban royalti yang dibayarkan pelaku usaha hanya 6%, sementara rata-rata profit margin yang dinikmati pelaku usaha batubara dalam kondisi normal bisa sekitar 20%.
Dengan kondisi nilai tukar rupiah yang cenderung menguat, semestinya pelaku usaha batubara tetap bisa bertahan dalam kondisi seperti sekarang. "Semestinya mawas diri bagi yang mengajukan. Usulan ini sangat tidak ada justifikasinya," sebut Enny.
Senada, Kordinator Nasional PWYP Indonesia Maryati Abdullah berpandangan permintaan insentif tersebut tidak tepat. Maryati menyoroti, dalam kondisi pandemi ini pemerintah, termasuk pemerintah daerah justru sangat membutuhkan asupan dana khususnya untuk menanggulangi dampak covid-19.
"Kalau royalti dikurangi, kesian Pemda. Kami juga harus peduli dengan situasi ini," ungkapnya.
Adapun, pemerintah sudah memangkas target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor minerba, dari sebelumnya Rp 44,34 triliun menjadi Rp 35,93 triliun. Hingga Mei, Johnson mengungkapkan bahwa realisasi PNBP mencapai Rp 14,55 triliun atau 40,50% dari target.
Baca Juga: Masih tunggu aturan, lelang wilayah tambang mandek
Pemangkasan target tersebut seiring dengan pelemahan harga komoditas, terutama batubara yang berkontribusi sekitar 80% terhadap PNBP minerba. Sebagai gambaran, rata-rata HBA di tahun 2019 sebesar US$ 77,89 per ton. Namun, HBA rata-rata pada Januari - April 2020 hanya di level US$ 66,42 per ton.
Dengan berbagai proyeksi dari sejumlah lembaga, Johnson memperkirakan harga batubara Indonesia pada akhir tahun 2020 hanya berkisar di angka US$ 59 - US$ 61 per ton. Namun, dengan realisasi setoran yang masih terjaga, dia tetap optimistis target PNBP tahun ini akan tercapai.
"Masih sesuai target yang diperkirakan (realisasi). Ini bisa kita kejar, sampai akhir tahun kita optimistis penerimaan negara sesuai target," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News