Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
Dalam kesempatan yang sama, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, mendukung langkah pemerintah untuk tidak mengabulkan permintaan insentif dari pelaku usaha batubara.
Enny menilai, permintaan insentif tersebut tidak memiliki landasan yang kuat. Menurutnya, penghitungan royalti harus tetap mengacu pada harga patokan. Apalagi, harga patokan tersebut dinilai cukup fair dengan menghitung indeks harga serta dievaluasi setiap bulan.
"Jika memakai harga jual, bisa suka-suka. Sedangkan pemerintah dalam memberikan harga acuan tidak suka-suka, ada panduannya, dan dikoreksi setiap bulan," jelas dia.
Baca Juga: Konsumsi anjlok, PLN revisi serapan batubara domestik
Dia juga berpandangan, kewajiban seperti royalti yang diberikan pelaku usaha batubara tergolong kecil jika dibandingkan margin keuntungan yang dinikmati. Dalam perhitungannya, rata-rata kewajiban royalti yang dibayarkan pelaku usaha hanya 6%, sementara rata-rata profit margin yang dinikmati pelaku usaha batubara dalam kondisi normal bisa sekitar 20%.
Dengan kondisi nilai tukar rupiah yang cenderung menguat, semestinya pelaku usaha batubara tetap bisa bertahan dalam kondisi seperti sekarang. "Semestinya mawas diri bagi yang mengajukan. Usulan ini sangat tidak ada justifikasinya," sebut Enny.