Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang begitu besar terutama untuk barang olahan intermediate pada sektor mineral strategis membuat pelaku usaha di sektor hilirisasi pertambangan lebih memilih ekspor ketimbang memasok produknya di dalam negeri.
Terkait hal ini, Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Patijaya, menegaskan bahwa penghapusan PPN tersebut merupakan langkah mendesak untuk memperkuat daya saing industri nasional serta untuk menarik investasi asing.
Menurutnya, kebijakan fiskal saat ini justru mengurangi competitive advantage Indonesia di pasar global, khususnya ASEAN.
“PPN pada barang olahan intermediate meningkatkan biaya produksi dan memperlambat arus kas industri karena proses restitusi yang memakan waktu lebih dari 90 hari," kata Bambang di Jakarta, Selasa (29/7).
Baca Juga: Pemerintah Putuskan Isentif PPN DPT 100% Masih Dilanjutkan Sampai Akhir 2025
Ia menambahkan, untuk industri berorientasi ekspor, meskipun PPN ekspor tarifnya 0%, mereka tetap harus menanggung PPN masukan di dalam negeri sebelum mendapatkan restitusi.
"Refund yang lambat ini membuat produk ekspor Indonesia kalah bersaing dibanding Vietnam dan Thailand yang memproses refund hanya dalam 15–30 hari,” tambahnya.
Bambang menyebut, PPN seharusnya dikenakan pada produk akhir, bukan pada bahan baku atau barang olahan intermediate.
"Jika pajak dikenakan di awal rantai produksi, beban biaya akan menumpuk dan mengurangi daya saing industri nasional," katanya.
Berdasarkan data, berikut adalah perbandingan tarif PPN Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya:
1. Indonesia: Tarif PPN 11%, berlaku di seluruh rantai produksi; refund rata-rata lebih dari 90 hari.
2. Vietnam: Tarif PPN 10%, zero-rated untuk ekspor dan sektor prioritas; refund 6–40 hari.
3. Thailand: Tarif VAT 7%, fasilitas bebas PPN untuk bahan baku ekspor di Free Trade Zone; refund maksimal 15 hari.
PPN yang tinggi tambah dia, berpotensi membuat investasi pindah atau beralih ke Vietnam atau Thailand.
"Padahal, dengan penghapusan PPN intermediate, kita bisa menurunkan biaya produksi 8–12 persen di sektor mineral strategis seperti ferronikel, timah ingot dan berbagai produk olahan intermediate lainnya,” tegasnya.
Meski kebijakan ini berpotensi menurunkan penerimaan negara hingga Rp110 triliun per tahun, Bambang menekankan bahwa dampak tersebut dapat dikompensasi.
“Basis pajak akan naik dari masuknya investasi baru, PPh badan, dividen BUMN, dan pajak karbon. Insentif fiskal harus dilihat sebagai strategi jangka panjang untuk industrialisasi,” jelasnya.
Selain penghapusan PPN intermediate untuk sektor strategis, Bambang juga mengusulkan digitalisasi penuh proses restitusi PPN dengan Service Level Agreement (SLA) maksimal 30 hari.
“Jika kita ingin menjadi basis manufaktur ASEAN, kebijakan fiskal harus agile, efisien, dan pro-hilirisasi,” tutupnya.
Baca Juga: Surat Aparat Pajak Mulai Membikin Cemas Wajib Pajak
Selanjutnya: Newcastle Incar Kiper Southampton Aaron Ramsdale, Nick Pope Merapat ke Leeds?
Menarik Dibaca: Promo Hypermart Weekday 29-31 Juli 2025, Ayam Kampung Diskon hingga Rp 22.000
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News