Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia (Gakoptindo) meminta pemerintah memperbaiki kualitas bibit kedelai lokal agar produktivitas petani dapat meningkat dan ketergantungan terhadap impor bisa dikurangi.
Ketua Dewan Penasehat Gakoptindo Aip Syarifuddin mengatakan, saat ini kebutuhan kedelai nasional mencapai sekitar 3,3 juta ton per tahun, dengan 90% di antaranya atau sekitar 2,7 juta ton masih bergantung pada impor. Sementara produksi kedelai lokal baru berkisar 400.000 ton per tahun.
“Kalau permintaan meningkat, misalnya karena adanya program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menambah konsumsi tempe dan tahu, kita khawatir justru impor makin naik. Karena itu, yang paling penting adalah perbaikan bibit kedelai lokal,” ujar Aip kepada Kontan, Jumat (24/10/2025).
Baca Juga: Program MBG Berpotensi Dongkrak Permintaan Kedelai Hingga 20%
Aip menjelaskan, produktivitas kedelai di Indonesia rata-rata hanya 2 ton per hektare, jauh tertinggal dibandingkan Amerika Serikat dan Brasil yang bisa mencapai 5 ton per hektare. Padahal, menurutnya, kondisi iklim dan tanah di Brasil hampir sama dengan Indonesia.
“Saya pernah survei ke Amerika dan Brasil. Di sana, satu hektare bisa menghasilkan 5 ton. Dulu Brasil hasilnya cuma 3 ton, tapi setelah perbaikan bibit kini bisa lebih dari 5 ton per hektare, bahkan produksinya sudah melebihi Amerika,” katanya.
Aip menilai rendahnya hasil panen di Indonesia disebabkan karena bibit kedelai lokal masih inferior dan tidak dikembangkan serius. Ia menyarankan pemerintah mempertimbangkan penggunaan bibit kedelai hasil rekayasa genetika (GMO) yang terbukti meningkatkan produktivitas di banyak negara.
“Sudah lebih dari 50 tahun masyarakat Indonesia mengonsumsi kedelai impor yang mayoritas GMO, dan tidak pernah ada masalah kesehatan. Jadi kenapa kita tidak belajar dari sana? Petani kita mampu kalau bibitnya diganti,” tegasnya.
Aip menambahkan, saat ini petani enggan menanam kedelai karena keuntungan yang kecil. Dengan produktivitas dua ton per hektare, hasilnya hanya sekitar Rp 20 juta per panen, jauh lebih rendah dibandingkan padi atau jagung yang bisa mencapai Rp 50 juta hingga Rp 60 juta per hektare.
“Kalau bibitnya bagus dan hasilnya bisa lima ton per hektare, petani tentu mau tanam kedelai. Jadi kuncinya ada di perbaikan bibit. Tanpa itu, sulit bicara soal swasembada,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan, jika pemerintah serius menjalankan program MBG dan menjadikan tempe serta tahu sebagai menu rutin, kebutuhan kedelai nasional bisa meningkat hingga 10%–20% per tahun.
Karena itu, langkah perbaikan bibit menjadi semakin mendesak agar kenaikan permintaan tidak memperlebar defisit produksi domestik.
Baca Juga: Program MBG Berpotensi Dorong Pertumbuhan Impor Kedelai AS ke Indonesia
Selanjutnya: Donald Trump di Depan Para Pemimpin Negara ASEAN: AS Bersama Anda 100%!
Menarik Dibaca: IHSG Diperkirakan Terkoreksi, Ini Rekomendasi Saham MNC Sekuritas (27/10)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













