kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,02   -8,28   -0.91%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Lewat CSR, industri sawit bermitra dengan petani


Selasa, 07 Oktober 2014 / 10:24 WIB
Lewat CSR, industri sawit bermitra dengan petani
ILUSTRASI. Fitch Ratings sebelumnya telah menurunkan peringkat utang Sritex dari C ke RD pada awal Mei 2021 lalu.


Reporter: Anna Suci Perwitasari, Mona Tobing | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Undang-Undang (UU) Perkebunan sudah diketok Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhir September lalu. Artinya, sejumlah kewajiban siap menanti perusahaan perkebunan. Salah satu yang cukup jadi pembicaraan adalah kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat paling rendah 20% dari total luas area kebun yang diusahakan perusahaan perkebunan.

Aturan yang tersurat dalam pasal 58 UU Perkebunan itu menyebutkan, pengadaan lahan untuk petani ini harus dilakukan dalam jangka waktu paling lambat tiga tahun sejak hak guna usaha diberikan. 

Nah, sebagian besar perusahaan perkebunan, khususnya di sektor kelapa sawit, mengaku telah memenuhi kewajiban ini. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan menyebut, bagi perusahaan besar, kewajiban itu tidak memberatkan. 

Sebab, mereka sudah memberikan lahannya untuk dikelola oleh masyarakat dengan status sebagai kebun plasma. "Biasanya, itu masuk salah satu program Corporate Social Responsibility (CSR). Sebab, tujuannya untuk menyejahterakan masyarakat di sekitar perkebunan," ujar Fadhil, Senin (6/10).

PT Sampoerna Agro Tbk, misalnya, mengaku sudah melewati batas minimum dari kewajiban pembangunan kebun masyarakat tersebut. Kepala hubungan Investor Sampoerna Agro Michael Kusuma menyebut, dari area tertanam yang dimiliki perusahaannya, sekitar 40% merupakan kebun masyarakat dengan skema plasma. 

"Luas tertanam yang kami punya saat ini mencapai 120.000 hektare (ha)," katanya. Artinya, kebun plasma di perusahaan dengan kode emiten SGRO tersebut adalah sekitar 48.000 hektare.

Sampoerna Agro juga tak berhenti di situ. Untuk pengembangan kebun baru, Sampoerna Agro berniat menerapkan pola serupa. "Meski tidak sebesar yang sudah kami punya, untuk pengembangan di kebun baru minimal 20% hingga 30% bakal dikembangkan menjadi kebun plasma," tambah Michael.

Hal yang sama pun terjadi pada PT Astra Agro Lestari Tbk yang saat ini sudah melepas 20%–25% lahan perkebunannya menjadi kebun plasma petani. Direktur Astra Agro Lestari Joko Supriyono menyebut, luas lahan kebun plasma di perusahaannya sekarang sudah mencapai 65.000 ha. Adapun total lahan perkebunan kelapa sawit milik anak usaha Grup Astra tersebut lebih dari 260.000 ha.

Adanya lahan yang digarap masyarakat pun dapat membantu perusahaan mengejar target produksi dengan pemanfaatan pihak ketiga. 

Apalagi, kebun rakyat yang masuk skema plasma biasanya memiliki produk yang bagus, setara dengan yang dikelola perusahaan. "Biasanya yang hasilnya jelek itu yang bikinan rakyat sendiri," tambah Joko.

Ketentuan harga

Bagi petani pun, lebih menguntungkan mengelola lahan plasma karena mutunya lebih bagus dibandingkan dengan lahan yang dimiliki kebun rakyat biasa. Dengan kenaikan mutu, harga jualnya ikut terkerek. Otomatis, kesejahteraan petani pun belakangan terdongkrak.

Saat ini, Sampoerna Agro memiliki patokan harga tersendiri untuk pembelian hasil produksi dari petani plasma. Michael menjabarkan, harga tersebut adalah kesepakatan yang melibatkan perusahaan, petani, dan pemerintah. "Harga CPO itu juga diatur dan ada ketentuan dari dinas setempat juga. Jadi, bukan hanya kesepakatan antara perusahaan dan petani," ungkapnya.

Namun, tak selalu skema plasma ini menguntungkan kedua belah pihak. Beberapa faktor ikut berperan di dalamnya. Salah satunya adalah harga pasar dari minyak kelapa sawit atawa crude palm oil (CPO). Saat harganya anjlok, kedua belah pihak tak bisa berbuat apa-apa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×