Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gencarnya upaya pemerintah untuk menggabungkan beberapa perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bentuk holding tidak melulu optimal untuk mendorong value atau nilai perusahaan terkait.
Pengamat BUMN dan LM FEB Universitas Indonesia Toto Pranoto mengungkapkan, proses post merger integration (PMI) harus dicermati setelah terbentuknya holding. Dimana, proses meliputi standarisasi atas proses bisnis, fungsi-fungsi perusahaan dan konsolidasi corporate culture. "Itu berpengaruh besar terhadap keberhasilan holding. Apabila PMI berjalan mulus maka diharapkan holding berjalan sukses," jelas Toto kepada Kontan, Selasa (13/4).
Sementara itu, Toto memandang efektifitas holding BUMN relatif sudah berjalan dengan baik. Meskipun dia mengaku masih ada holding yang belum optimal dan bahkan mengalami kerugian seperti holding PTPN.
Baca Juga: MIND ID kantongi pendapatan Rp 66,56 triliun pada tahun lalu
Tak hanya PTPN, teranyar kinerja holding BUMN Karya juga menunjukkan performa yang lesu sepanjang tahun lalu. Kondisi tersebut semata-mata karena dampak Covid-19, terutama diterapkannya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Alhasil, mobilitas masyarakat dan barang cenderung terbatas.
Pandemi Covid-19 juga membuat banyak proyek BUMN Karya mengalami penundaan, sehingga pendapatan dari holding BUMN tersebut tertekan tajam. Ditambah lagi, program divestasi tidak berjalan mulus akibat dampak Covid-19, sehingga arus cash flow tertekan. "Kalau semester II-2021 program vaksin relatif sudah merata, diharapkan sektor ini segera bangkit," tuturnya.
Toto juga mengingatkan, kalau sejatinya holding BUMN Karya juga banyak mendapat penugasan pemerintah di sektor infrastruktur. Hanya saja, karena tidak semua proyek tersebut didanai sepenuhnya oleh pemerintah, Toto memandang kondisi tersebut turut menjadi beban bagi BUMN terkait.
Adapun untuk holding tambang, dia menilai relatif cukup menunjukkan performa yang baik khususnya dalam meningkatkan holding value creation. Setidaknya, sinergi antar anggota holding sudah berjalan dan mulai memasuki fase hilirisasi, tercermin dari pembangunan smelter nikel antara Inalum dengan PT Aneka Tambang (Antam).
Di samping itu, holding BUMN juga mulai mampu mengakuisisi PT Vale Indonesia (INCO) sebagai sumber utama industri baterai nasional. "Keunggulan holding juga dari pengaturan financing group yang mengandalkan global bond dan diterima market dengan antusias," tambah Toto.
Baca Juga: Waskita Karya (WSKT) kembali divestasi dua ruas tolnya, ini rekomendasi analis
Toto menekankan, pembentukan holding bukan sekedar untuk mengurangi jumlah BUMN, melainkan juga meningkatkan value atau nilainya. Secara prinsip, saat dilakukan holding maka value suatu perusahaan akan lebih besar dibandingkan jika BUMN berdiri sendiri.
Apalagi, untuk rencana pembentukan holding pariwisata diniliai memiliki cakupan yang luas dan bukan hanya sekedar hotel ataupun destinasi wisata. Aspek seperti transportasi dan logistik juga menjadi perhatian dalam pembentukan holding pariwisata ke depan.
"Jadi, kalau holding BUMN sektor pariwisata belum bisa terbentuk saat ini, minimal klaster BUMN-nya sudah terbentuk. Sehingga, sinergi antar anggota klaster bisa dioptimalkan," ungkapnya.
Asal tahun saja, sepanjang PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) bukukan pendapatan Rp 16,53 triliun, anjlok 39,23% dari tahun sebelumnya. Laba bersih WIKA pun turun signifikan hingga 91,87% menjadi Rp 185,77 miliar.
Sementara itu, jumlah liabilitas jangka pendek WIKA naik menjadi Rp 44,16 triliun dari Rp 30,34 triliun pada 2019. Meski jumlah liabilitas jangka panjang WIKA mengalami penurunan, namun total liabilitas WIKA menanjak jadi Rp 51,45 triliun dari 2019 yakni Rp 42,89 triliun.
Turut mengekor, PT Adhi Karya Tbk (ADHI) juga mencatatkan penurunan laba bersih hingga 96,39%, dengan laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp 23,97 miliar sepanjang tahun lalu.
Jumlah liabilitas ADHI pada tahun 2020 tercatat sebesar Rp 32,51 triliun, naik 9,53% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 29,68 triliun. Liabilitas jangka pendek ADHI per tahun lalu senilai Rp 27,06 triliun, sedangkan liabilitas jangka panjang sebesar Rp 5,44 triliun.
Baca Juga: Hingga kuartal I, pembiayaan PNM capai Rp 11,1 triliun
Tak sampai di sana, PT Waskita Karya (Persero) Tbk yang sebelumnya mampu mencetak laba Rp 938,14 miliar di 2019, justru berbalik merugi hingga Rp 7,38 triliun di 2020.
Liabilitas jangka pendek WSKT meningkat jadi Rp 48,23 triliun pada 2020 dari sebelumnya Rp 45,02 triliun. Meski total liabilitas menurun dari Rp 93,47 triliun pada 2019 menjadi Rp 89,01 triliun pada 2020, namun bertambahnya jumlah ruas tol milik Waskita yang beroperasi justru menambah beban pinjaman yang mencapai Rp 4,74 triliun atau melonjak 31% secara tahunan.
Adapun kinerja MIND ID dalam laporan keuangan per 31 Desember 2020 mencatatkan penurunan pendapatan 17,5% menjadi Rp 66,56 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yakni Rp 80,63 triliun. Hal ini tercermin dari turunnya pendapatan anak usaha MIND ID, seperti PT Bukit Asam (PTBA) yang turun 20,47% menjadi Rp 17,32 triliun, Antam turun 16,32% ke level Rp 27,37 triliun dan PT Timah (TINS) turun 21,35% ke level Rp 15,21 triliun.
Adapun rasio utang terhadap modal atau debt equity ratio (DER) MIND ID per 2021 tercatat meningkat dari tahun sebelumnya 1,3 kali menjadi 1,49 kali. Hal ini disertai liabilitas yang naik 16,27% menjadi Rp 108,19 triliun dan ekuitas yang naik tipis 1,1% ke level Rp 72,58 triliun.
Dengan begitu, hingga 31 Desember 2020 MIND ID masih membukukan laba tahun berjalan yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk yakni Rp 698,17 miliar. Capaian tersebut lebih baik dibandingkan kinerja perusahaan di 2019 yang masih membukukan rugi hingga Rp 1,2 triliun.
Selanjutnya: Pertamina janji percepat agenda transisi energi baru terbarukan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News