Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) serta penyelesaian Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) menjadi perhatian bagi pelaku industri manufaktur. Tak terkecuali bagi industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) yang memiliki porsi ekspor tinggi.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa menilai tarif resiprokal AS bisa menjadi faktor pengubah permainan (game changer) dalam perdagangan global, termasuk untuk produk TPT. Jemmy menyoroti penurunan tarif yang akan dikenakan oleh AS kepada produk asal Indonesia, dari 32% menjadi 19%.
Menurut Jemmy, penurunan tarif ini bisa menjaga akses pasar produk TPT Indonesia ke AS yang merupakan salah satu mitra dagang utama.
Baca Juga: Menakar Dampak Tarif Resiprokal AS Terhadap Perekonomian Indonesia
Sejalan dengan negosiasi yang terus berlangsung, Jemmy berharap pemerintah akan menindaklanjuti kesepakatan tarif dengan kebijakan lanjutan yang dapat mendukung industri, seperti harmonisasi regulasi teknis dan fasilitasi perdagangan.
Hal tersebut diharapkan akan mendukung industri padat karya untuk memanfaatkan peluang ekspor secara optimal.
"Tarif 19% belum berlaku. Detail aturannya juga sedang dalam pembahasan, dan ini bukan hanya diberlakukan terhadap Indonesia. Tapi ini merupakan game changer yang belum pernah terjadi," ungkap Jemmy saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (20/7).
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta turut menyambut penurunan tarif resiprokal AS yang dikenakan untuk produk Indonesia. Meski pengenaan tambahan tarif 19% masih cukup berat, tapi dengan angka ini setidaknya produk Indonesia masih bisa bersaing dengan negara eksportir lain.
Redma mencontohkan Vietnam, serta Bangladesh yang sejauh ini masih dikenakan tarif lebih tinggi. "Cukup melegakan khususnya di hilir. Untuk di hulu dan sektor antara yang bersaing dengan Korea juga tarif ini cukup bisa bersaing. Tinggal tunggu seberapa besar tarif yang akan diberlakukan untuk China," kata Redma.
Baca Juga: Prospek Industri Baja Dibayangi Dampak BMAD China dan Tarif Resiprokal AS
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Umum API David Leonardi mengamini penurunan tarif bea masuk dari 32% menjadi 19% merupakan peluang strategis bagi industri TPT nasional. Khususnya bagi pelaku usaha yang berorientasi ekspor ke pasar AS.
Selain lebih rendah dibandingkan sebelumnya, tarif 19% juga lebih kompetitif dibandingkan yang dikenakan terhadap negara pesaing seperti Vietnam. "Hal ini menunjukkan bahwa produk tekstil Indonesia memiliki potensi daya saing yang lebih baik di pasar AS," ungkap David.
David memberikan gambaran, total ekspor TPT Indonesia ke pasar global mengalami penurunan sekitar 2,70% secara kuartalan, dari kuartal IV-2024 ke kuartal I-2025. Namun secara tahunan dibandingkan dengan kuartal I-2024, ekspor Indonesia meningkat 1,35% di periode awal tahun ini.
Baca Juga: Lindungi Industri Tekstil Nasional, API Harap Revisi Permendag 8/2024 Segera Terbit
Dari total ekspor tersebut, pasar AS memegang peranan cukup signifikan. Sekitar 41,81% ekspor ditujukan ke pasar AS, yang sebagian besar berupa produk pakaian jadi. Sementara negara tujuan ekspor TPT lainnya adalah Jepang, Korea Selatan, China, dan Jerman.
Tantangan dan Peluang
David menyoroti, Indonesia perlu memperluas ekspansi pasar. Tidak hanya ke negara-negara tujuan ekspor tradisional, tetapi juga ke pasar non-tradisional. "Selain menjalin kerja sama, hal yang tak kalah penting adalah memahami dan memenuhi persyaratan teknis dan regulasi dari negara tujuan ekspor tersebut," kata David.
David pun menyoroti langkah pemerintah yang berupaya mempercepat penyelesaian perjanjian perdagangan IEU-CEPA. Pelaku industri TPT mencermati perjanjian ini lantaran Uni-Eropa merupakan pasar ekspor terbesar kedua setelah AS dengan pangsa sebesar 10,25%.
Hanya saja, pelaku industri perlu mempersiapkan diri dengan standar Eropa yang ketat, termasuk dari sisi penggunaan energi terbarukan.
Salah satu solusi konkret adalah pembangunan jaringan distribusi gas alam ke sentra industri tekstil seperti Bandung Raya dan Solo Raya, guna mendukung proses produksi yang lebih ramah lingkungan.
"Indonesia harus mempersiapkan diri menghadapi penerapan perjanjian IEU-CEPA yang akan mulai berlaku pada tahun 2027. Untuk memenuhi standar, Indonesia harus bertransisi ke energi terbarukan," ungkap David.
Baca Juga: Kena Tarif Resiprokal AS, Indonesia Pilih Negosiasi Ketimbang Retaliasi
Wakil Direktur Utama PT Pan Brothers Tbk (PBRX) Anne Patricia Susanto turut melihat ada peluang yang bisa diambil pelaku industri TPT untuk memperkuat pasar ekspor ke AS dan Eropa. Sejauh ini, tarif yang dikenakan oleh AS untuk produk Indonesia tergolong lebih rendah dibandingkan sejumlah negara produsen pakaian lainnya.
Kemudian jika nanti IEU-CEPA telah terealisasi, produk pakaian Indonesia bisa lebih kompetitif untuk bersaing dengan negara lain yang sudah terlebih dulu menjalin Free Trade Agreement (FTA) seperti Vietnam, Kamboja dan Bangladesh.
Meski begitu, Anne menyoroti perlunya langkah konkret dari pemerintah untuk mewujudkan kepastian berusaha dan kemudahan berbisnis (ease of doing business), terutama untuk industri padat karya.
"Karena persaingan kita bukan terhadap sesama (perusahaan) Indonesia. Persaingan yang jauh lebih konkret adalah dengan negara lain. Sehingga dengan adanya disrupsi global, kalau kita konkret, menapaknya juga jadi lebih jelas," tegas Anne.
Investasi TPT di Indonesia
Di tengah berbagai tantangan yang membayangi, investasi industri TPT masih mengalir di dalam negeri. Terbaru, PT Xinhai Knitting Indonesia menggelar peletakan batu pertama pembangunan pabrik di Brebes, Jawa Tengah. Agenda yang berlangsung pada Jumat (11/7) itu dihadiri Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza.
Faisol membeberkan bahwa Xinhai Knitting Indonesia mengucurkan investasi lebih dari US$ 40 juta, yang mencakup pembangunan pabrik seluas 8 hektare. Pabrik yang dijadwalkan mulai berproduksi pada Juli 2026 ini diproyeksikan menyerap tenaga kerja hingga 8.000 orang.
Keberadaan Xinhai Knitting Indonesia merupakan bagian dari rantai pasok untuk merek mode global, H&M. Dus, pabrik ini akan menerapkan standar keberlanjutan seperti penggunaan solar panel dan pengolahan air limbah sesuai standar industri hijau.
Baca Juga: Pekan Penentuan: Negara-Negara Asia Bersiap Hadapi Dampak Tarif Resiprokal AS
"Ini menjadi langkah penting dalam menciptakan industri tekstil berdaya saing dan berkelanjutan. Indonesia memiliki potensi besar dalam meningkatkan daya saing sektor industri TPT di pasar global,” ungkap Faisol.
Faisol menyampaikan bahwa Kementerian Perindustrian telah menyiapkan lima kebijakan strategis untuk meningkatkan daya saing industri TPT nasional.
Pertama, penggunaan bahan baku ramah lingkungan dan pemisahan pasar untuk produk TPT daur ulang.
Kedua, efisiensi penggunaan air, energi, dan bahan kimia. Ketiga, penguatan praktik ekonomi sirkular. Keempat, pemberian insentif bagi industri hijau. Kelima, implementasi proyek percontohan untuk daur ulang tekstil pasca-konsumsi.
Sebagai informasi, sektor TPT menyerap sekitar 3,76 juta tenaga kerja, atau sekitar 19,18% dari total tenaga kerja di sektor manufaktur nasional. Industri TPT mencatat nilai ekspor sebesar US$ 3,38 miliar pada periode Januari - April 2025 atau meningkat sekitar 3,57% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Selanjutnya: Agar Anak Tumbuh Cerdas dan Mandiri, Ini Strategi Mendidiknya Sejak Dini
Menarik Dibaca: Samsung Z Fold 6 dengan Layar Dua Mode, Bisa jadi Smartphone Sekaligus Tablet
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News