kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45891,58   -16,96   -1.87%
  • EMAS1.358.000 -0,37%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengulur benang kusut industri tekstil


Senin, 10 Juli 2017 / 06:28 WIB
Mengulur benang kusut industri tekstil


Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri masih belum mampu keluar dari tekanan. Pelaku industri mengeluhkan masalah klasik yang belum dibenahi.

Ade Sudrajat, Ketua Asosiasasi Pertekstilan Indonesia (API) mengatakan masalah kalah saing baik itu dari energi, produktivitas tenaga kerja serta kemampuan logistik.

Dari sisi pendukung energi pun juga kalah saing dengan negara tetangga seperti Vietnam. Penggunaan listrik dari PLN menelan biaya US$ 10,5 sen/kWh. Sedangkan di Vietnam hanya US$ 7 sen/kWh. Begitupula dari energy gas yang menekan biaya US$ 9,3/ MMBtu dan di Vietnam sebanyak US$ 7,5 / MMBtu.

"Masalah pajak dan aturan perdagangan sekarang menjadi masalah baru juga," kata Ade saat dihubungi KONTAN, Minggu (9/7).

Seperti diketahui, beberapa saat lalu juga Asosiasi Pertekstilan Indonesia API mengaku dirugikan dengan penerapan aturan yang melarang pabrik menjual barang produksinya ke perusahaan yang tidak termasuk kategori Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Sebelumnya, industri dapat menjual produk langsung ke pengusaha non-PKP. Namun, setelah praktik tersebut dilarang, industri merasa kesulitan mencari PKP yang mau membeli produk mereka.

Prama Yudha Amdan, Corporate Communication PT Asia Pacific Fibers Tbk mengatakan sektor TPT mengalami kelesuan sampai tengah tahun ini. Menurutnya masalah utama seperti harga energi yang tidak kompetitif, logistik yang terlampau mahal, dan aturan impor juga masih menjadi kendala.

"Pemerintah juga perlu mengkaji Ketentuan Fasilitas Kite (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor)," kata Prama saat dihubungi KONTAN.

Selain itu, Prama menilai banyak perusahaan domestik yang lebih memilih untuk banyak mengimpor kain jadi. Alhasil, industri hulu TPT banyak yang mati akibat hal tersebut. Padahal, kebutuhan industri garmen terus meningkat tiap tahunnya.

Redma Gita, Sekjen Asosiasi Pengusaha Synthetic Fiber Indonesia (Apsyfi) mengatakan bila masalah energi sudah selesai maka akan berdampak domino naiknya daya saing di industri hilir.

Kedua, dirinya mengharapkan bahan baku lokal tujuan ekspor tidak dikenakan PPN agar seimbang dengan bahan baku impor.

Selanjutnya, untuk Kawasan Berikat diharapkan hanya untuk perusahaan yg 100% ekspor agar persaingan di pasar domestik lebih fair. "Supaya pihak Bea Cukai lebih mudah mengawasi dan mencegah ekspor fiktif," kata Redma saat dihubungi KONTAN.

Sementara daya saing ditingkatkan, menurutnya pasar dalam negeri harus dijadikan jaminan pasar bagi produk lokal. Yang dimana impor bahan baku hanya diperbolehkan bagi perusahaan yangg berorientasi ekspor saja.

Melihat hal tersebut, Kementerian Perindustrian berupaya meningkatkan kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri karena merupakan salah satu sektor yang diprioritaskan pengembangannya untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian nasional.

Sektor padat karya berorientasi ekspor ini ditargetkan dapat tumbuh sekitar 1,6% sampai 1,8%pada tahun 2017 atau naik dibanding tahun 2016 yang mencapai 1,2%.

“Untuk itu, insentif yang diperlukan guna mendorong kinerja industri TPT antara lain penurunan tarif energi listrik dan gas, perlindungan pasar dalam negeri dari impor ilegal serta kemudahan akses penjualan ke dalam negeri serta insentif ekspor,” kata Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Achmad Sigit Dwiwahjono dalam keterangan pers kepada KONTAN.

Kemenperin mencatat, industri TPT mampu menyumbang devisa negara sebesar US$ 11,87 miliar atau 8,2% dari total ekspor nasional pada tahun 2016. Sementara itu, nilai ekspor sektor ini pada periode Januari-Mei 2017 sekitar US$ 5,11 juta atau naik 3,40% dibandingkan periode yang sama tahun sebeiumnya.

Industri TPT dinilai dapat menjadi jaring pengaman sosial dengan menyerap tenaga kerja. Pada Januari-Mei 2017, terserap sebanyak 2,69 juta tenaga kerja di sektor TPT atau 17,03% dari total tenaga kerja industri manufaktur. Pada tahun 2016, nilai investasi industri TPT mencapai Rp 7,54 triliun.

“Selama tiga tahun terakhir, industri TPT nasional mengalami kontraksi dalam pertumbuhannya. Hal ini didorong oleh investasi baru maupun perluasan pabrik,” ungkap Sigit.

Nilai investasi industri TPT sampai triwulan I tahun 2017 untuk penanaman modal asing, mencapai US$ 174,51 ribu atau naik 17,98%dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 147,92 ribu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×