Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan kondisi produksi minyak Indonesia terus mengalami penurunan sejak 1997 sampai dengan 2023.
Pada medio 1996-1997, produksi siap jual alias lifting minyak Indonesia menyentuh 1,6 juta barel per hari dengan konsumsi minyak pada saat itu sekitar 600 ribu sampai dengan 700 ribu barel per hari. Pada tahun-tahun tersebut, pendapatan negara 40%-50% bersumber dari minyak dan gas. Pada saat itu juga, Indonesia masuk di negara pengekspor minyak bumi atau OPEC.
Bahlil membandingkan kondisi pada 2023, lifting minyak Indonesia hanya menyentuh 606 ribu barel per hari dengan konsumsi minyak justru mencapai 1,6 juta barel per hari. Indonesia pun harus impor minyak sekitar 1 juta barel minyak per hari.
"Saya mencoba menengok di 30 tahun terakhir. Jadi kalau 1996-1997 kita ekspor minyak 1 juta barel, di tahun 2023 kita impor 1 juta barel. Jadi terbalik 30 tahun lalu, antara lifting dan ekspor, berbalik dengan lifting dan impor di tahun 2023," kata Bahlil dalam BNI Investor Daily Summit 2024 di Jakarta, Rabu (9/10).
Baca Juga: Divestasi Belum Rampung, Nasib Perpanjangan Kontrak Freeport di Tangan Prabowo
Bahlil mengungkapkan lifting minyak yang terus turun ini salah satunya disebabkan karena sumur-sumur minyak di Indonesia menua (mature) dan regulasi-regulasi yang menghambat investor untuk membenamkan investasi di sektor hulu migas.
Secara rinci, berdasarkan data Kementerian ESDM, produksi minyak pada 1997 sebesar 1,520 juta barel per hari (bph), 1998 sebesar 1.518 juta bph, 1999 sebesar 1.472 juta bph, 2000 sebesar 1.428 juta bph, 2001 sebesar 1,340 juta bph, 2002 sebesar 1,249 juta bph, 2003 sebesar 1,155 juta bph, 2004 sebesar 1,096 juta bph.
Berikutnya, pada 2005 sebesar 1,067 juta bph, 2006 sebesar 1,019 juta bph, 2007 sebesar 963 ribu bph, dan naik tipis pada 2008 sebesar 986 ribu bph, kemudian turun laggi pada 2009 sebesar 969 ribu bph, pada 2010 sebesar 953 ribu bph, 2011 sebesar 918 ribu bph.
Kemudian, pada 2012 sebesar 875 ribu bph, 2013 sebesar 828 ribu bph, 2014 sebesar 789 ribu bph, 2015 sebesar 786 ribu bph, naik tipis pada 2016 sebesar 831 ribu bph berkat lapangan Banyu Urip, turun kembali pada 2017 sebesar 801 ribu bph, 2018 sebesar 772 ribu bph, 2019 sebesar 745 ribu bph, 2020 sebesar 708 ribu bph, 2021 sebesar 659 ribu bph, 2022 sebesar 613 ribu bph, dan 2024 sebesar 606 ribu bph.
Adapun, diperlukan dua atau tiga kali penemuan cadangan sekelas Banyu Urip untuk dapat meningkatkan produksi minyak nasional.
Baca Juga: Pangkas Izin biar Pengembangan Panas Bumi Cepat Panas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News