Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan PT Freeport Indonesia (PTFI) mendapatkan perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga hingga Juni 2025. Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk kondisi smelter yang mengalami kendala akibat insiden kebakaran.
"Kemarin kita sudah rapat terbatas (ratas) sebagai tindak lanjut dari Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas). Kita harus menghitung semuanya tentang kebaikan negara, kebaikan perusahaan, dan kebaikan rakyat Papua. Secara undang-undang kan harus kita akui bahwa batas akhir ekspor itu kan 31 Desember 2024," kata Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (21/2).
Bahlil menjelaskan, telah terjadi kebakaran di area asam sulfat. Kepolisian kemudian melakukan pemeriksaan untuk memastikan apakah insiden tersebut disengaja atau tidak.
Baca Juga: Freeport dan Amman Minta Relaksasi Ekspor, Lagu Lama yang Muncul Tiap Tahun
Kepolisian diminta untuk menyelidiki, sementara pihak asuransi juga melakukan pengecekan. Jika terbukti disengaja, izin ekspor tidak akan diperpanjang. Namun, setelah dilakukan investigasi, baik pihak asuransi maupun kepolisian menyimpulkan kebakaran tersebut merupakan kejadian tidak disengaja atau force majeure alias kahar.
Menurut Bahlil, smelter Freeport yang telah menyerap investasi sebesar US$ 3 miliar sejatinya hampir rampung. Namun, insiden kebakaran yang terjadi di fasilitas Asam Sulfat menyebabkan tertundanya operasional smelter tersebut.
"Nah atas dasar itu kemudian kita pemerintah lewat ratas setelah memutuskan untuk Freeport dapat diperpanjang ekspornya sampai dengan pabrik yang rusak itu selesai. Kapan selesainya? Bulan Juni," kata Bahlil.
Untuk mengikat komitmen tersebut, pemerintah telah meminta Direktur Utama PT Freeport Indonesia Tony Wenas, untuk menandatangani pernyataan di atas materai dan dinotariskan.
"Kalau sampai bulan Juni pun tidak selesai, maka dia akan mendapatkan sanksi. Diberikan sanksi. Yang untuk ekspornya kita memberikan pajak ekspor yang maksimal," tegas Bahlil.
Baca Juga: Freeport Akan Ekspor 1,3 Juta Ton Konsentrat Tembaga, ESDM: Belum Ada Izin
Meski izin ekspor diberikan hingga Juni, Bahlil menekankan operasional smelter tidak bisa langsung berjalan dengan kapasitas penuh. Oleh karena itu, sekitar 30%-40% dari total konsentrat yang diproduksi akan diekspor secara bertahap, sementara 60%-70% akan mulai diserap oleh smelter.
"Seperti mobil baru, enggak bisa langsung jalan 140 km per jam. Jadi harus bertahap. Saya pastikan, pada Oktober atau September nanti semuanya sudah bisa berjalan optimal," jelasnya.
Terkait volume ekspor yang diizinkan, Bahlil mengatakan pemerintah akan menghitung kebutuhan dengan cermat. Berdasarkan data, total produksi konsentrat Freeport mencapai lebih dari 3 juta ton per tahun, dengan 1,35 juta ton dialokasikan untuk smelter yang telah berekspansi dan 1,7 juta ton untuk smelter baru.
Bahlil menegaskan pihaknya tidak ingin mengambil keputusan yang merugikan pekerja, ekonomi Papua, dan pendapatan daerah.
"Freeport ini kan banyak akalnya juga. Tapi saya enggak akan pernah terbuai dengan rayuan Freeport. Saya konsisten," ujar Bahlil.
Saat ini, rekomendasi perpanjangan ekspor masih dalam proses finalisasi oleh pemerintah. "Masih dalam proses," pungkas Bahlil.
Sebelumnya, Freeport meminta pemerintah untuk kembali membuka izin ekspor konsentrat tembaga pada tahun ini. Menurut Tony, berdasarkan ketentuan dalam izin usaha pertambangan khusus (IUPK), ekspor dapat dilakukan jika terjadi keadaan kahar (force majeure). Namun, regulasi Kementerian ESDM masih perlu disesuaikan untuk mengakomodasi situasi ini.
Direktur Utama PTFI, Tony Wenas, menyatakan bahwa akibat terhentinya operasional smelter, PT Smelting di Gresik hanya mampu menyerap sekitar 40% dari total konsentrat tembaga yang dihasilkan Freeport di Papua.
Kondisi ini menyebabkan sekitar 1,5 juta ton konsentrat tembaga menjadi idle atau tidak terpakai. Menurut Tony, jika ekspor tetap dilarang, negara berpotensi kehilangan pendapatan hingga Rp 65 triliun per tahun.
“Dari total nilai ekspor yang bisa lebih dari US$ 5 miliar, negara berpotensi kehilangan pendapatan sebesar US$ 4 miliar atau sekitar Rp 65 triliun dari berbagai sumber seperti bea keluar, royalti, dividen, dan pajak,” kata Tony.
Rincian potensi kehilangan penerimaan negara tersebut meliputi: Dividen: US$ 1,7 miliar (Rp 28 triliun), Pajak: US$ 1,6 miliar (Rp 26 triliun), Bea keluar: US$ 0,4 miliar (Rp 6,5 triliun), Royalti: US$ 0,3 miliar (Rp 4,5 triliun).
Selain itu, larangan ekspor juga berdampak pada pendapatan daerah yang diperkirakan akan berkurang hingga Rp 5,6 triliun pada 2025. Provinsi Papua Tengah diprediksi mengalami penurunan pendapatan Rp 1,3 triliun, Kabupaten Mimika Rp 2,3 triliun, dan kabupaten lain di Papua Tengah Rp 2 triliun.
Tony juga menyoroti dana kemitraan untuk pengembangan masyarakat yang berasal dari 1% revenue Freeport juga akan berkurang sekitar Rp 1 triliun jika larangan ekspor tetap berlaku.
Baca Juga: Nasib Izin Ekspor Freeport akan Ditentukan Bulan Ini
Selanjutnya: BRI Manajemen Investasi Raih Indonesia Best Digital Awards 2025
Menarik Dibaca: Hujan Guyur Semua Wilayah, Cek Ramalan Cuaca Besok (22/2) di Jawa Barat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News