Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
Sementara Yunisyaaf Yunisyaaf Y. Arif menyoroti tentang perkembangan Teknologi Finansial (tekfin) di era digital. Pakar perbankan ini menghimbau, perbankan jangan menghindari tekfin tapi harus merangkulnya. Bank dan tekfin memiliki segmen dan keunggulan masing-masing.
Bank memiliki sistem yang prudent atau prinsip kehati-hatian yang tinggi, sehingga tingkat kredit macetnya dapat dikendalikan. Namun dengan semakin tumbuh dan berkembangnya model bisnis di era digital, maka bank perlu melakukan penyesuaian sehingga dapat lebih cepat tanggap dengan tingkat akurasi yang lebih baik dalam melakukan assessment kelayakan aplikasi pinjaman maupun profil calon nasabah. Kecepatan respon sangat diperlukan untuk akselerasi keputusan kredit.
Baca Juga: Cenderung lesu di awal tahun, harga perak masih berpeluang naik
Di sinilah bank perlu berkolaborasi yang baik dengan tekfin yang memiliki kelebihan. Pertama, Tekfin memiliki tingkat jangkauan data yang lebih luas dengan tingkat pemrosesan aplikasi pinjaman yang lebih cepat dan akurat. “Tekfin memiliki tingkat fleksibilitas layanan yang tinggi dan cepat serta tingkat jangkauan nasabah yang lebih luas,” jelas Yunisyaaf.
Kedua, bank juga secara tidak langsung dapat memanfaatkan tekfin sebagai front-liner (saluran) maupun back office yang handal yang memiliki kemampuan kecepatan melakukan proses yang tepat dan cepat.
“Bahkan dalam hubungan kerjasama antara bank dan tekfin, bank bisa berperan sebagai super-lender yaitu sebagai sumber dana. Sehingga bank bisa sekaligus memperluas jaringan dan jangkauannya di seluruh Indonesia atau bahkan hingga ke luar negeri,” tambahnya.
Di sisi lain, pengamat kebijakan publik Yulius Ibnoe menyoroti pentingnya langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan stakeholders di Indonesia terkait kesiapan Sumber Daya Manusia dalam menghadapi era Industri 4.0.
Baca Juga: Tidak terserap pasar lokal, Krakatau Steel (KRAS) ekspor baja ke luar negeri
Itu antara lain karena 60% angkatan kerja di Indonesia berpendidikan SMP ke bawah. “Mereka ini mudah terkena dampak otomatisasi di era Industri 4.0,” kata Yulius.
“Di samping itu, 50% tenaga kerja Indonesia mendapatkan kesenjangan antara pendidikan vokasi yang didapat dengan kebutuhan dunia industri. Maka, Indonesia sangat perlu menyiapkan SDM untuk mendukung transformasi ekonomi di era digital.”
Yulius menjelaskan, Indonesia membutuhkan pendidikan dan pelatihan ketrampilan yang lebih banyak. Hal ini perlu, karena banyak lulusan kita yang belum siap kerja setelah lulus sekolah.