kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.325.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mulai 2012, ekspor kayu wajib bersertifikat


Jumat, 02 Desember 2011 / 08:02 WIB
Mulai 2012, ekspor kayu wajib bersertifikat
ILUSTRASI. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati


Reporter: Sofyan Nur Hidayat |

JAKARTA. Eksportir kayu yang belum mengurus sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) harus segera mengurusnya agar ekspor mereka tidak akan terhambat. Mulai Januari 2012, pemerintah mewajibkan sertifikat bagi ekspor kayu. Dengan mengantongi sertifikat ini, artinya kayu yang mereka jual bukan kayu ilegal atau bukan dari hasil illegal logging.

Dasar hukum kewajiban memiliki sertifikat SVLK adalah Peraturan Menteri Kehutanan No P.38/Menhut-II/2009 tentang SVLK. Beleid ini diterapkan untuk produk HS 11 seperti panel kayu, wood working, dan prefab. Pada tahun 2013, penerapan SVLK akan diperluas ke 48 HS yang mencakup di antaranya kertas dan bubur kertas serta furnitur.

Pemerintah menerapkan aturan ini lantaran sejumlah negara menolak membeli kayu ilegal. Misalnya, Uni Eropa mengeluarkan Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT). Aturan ini mewajibkan kayu yang masuk ke 27 negara Eropa mulai 2013 nanti harus memiliki sertifikat legalitas. "SVLK sudah diakui oleh masyarakat internasional," tandas Masyud, Kepala Pusat Informasi Kementerian Kehutanan,
Kamis (1/12).

Sudah 150 perusahaan

M Haris Witjaksono, Vice President Strategic Business Unit Kehutanan, Kelautan, dan Lingkungan PT Sucofindo, mengatakan, hingga kini sudah ada 150 perusahaan yang telah mengantongi SVLK. Menurutnya, jumlah ini sudah cukup banyak.

Ia mengakui, peningkatan perusahaan yang mengurus SVLK ini didorong oleh banyaknya pembeli dari Amerika Serikat, Eropa, Jepang dan China yang mensyaratkan SVLK dalam membeli kayu gelondongan dari Indonesia. "Mereka sudah mendengar tentang SVLK dan menjadikannya sebagai persyaratan," kata Haris.

Menurutnya, jika perusahaan Indonesia tidak bisa memenuhi persyaratan tersebut, maka pembeli akan mengambil kayu dari pihak lain yang sudah memiliki sertifikat. Lantaran kewajiban ini baru berlaku 2013, maka perusahaan yang belum mengantongi sertifikat SVLK saat ini belum dikenakan sanksi.

Meski belum berlaku saat ini, menurut Haris, Indonesia merupakan negara yang paling siap menerapkan kewajiban ini. Maklum, negara eksportir kayu lainnya seperti China dan Malaysia baru tahap awal persiapan sertifikasi SVLK. Jadi, peluang Indonesia masuk ke pasar ekspor kayu lebih besar.

Sucofindo sendiri sejak pertengahan 2010 sudah mengeluarkan 50 sertifikat SVLK untuk industri dan lima sertifikat SVLK untuk hutan hak milik masyarakat. Lalu, saat ini Sucofindo masih memproses tujuh pengajuan sertifikat SVLK. Namun menurut Haris, perusahaan yang mendaftarkan SVLK kebanyakan bukan perusahaan besar, melainkan perusahaan menengah kecil yang bergerak di industri plywood dan molding.

Selain Sucofindo, ada tujuh lembaga independen yang memiliki akreditasi memberikan sertifikat SVLK, salah satunya PT Mutu Hijau Indonesia. Robianto Koestomo, Direktur Mutu Hijau mengakui, Mutu Hijau mengalami peningkatan pengajuan SVLK.

Menurutnya, proses pengajuan SVLK membutuhkan dana bervariasi. Untuk industri dengan kapasitas pengolahan 6.000 meter kubik (m³), dana yang dibutuhkan sekitar Rp 80 juta.

Waktu yang dibutuhkan untuk pengajuan SVLK berkisar 45-50 hari. "Kebanyakan industri kayu yang mengurus SVLK terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, bergerak di bidang olahan kayu sengon," tutur Robianto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×