Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Nasib kebijakan wajib pasokan batubara dalam negeri alias Domestic Market Obligation (DMO) akhirnya menemui titik cerah. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah membahas keberlanjutan kebijakan tersebut.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan, pihaknya tengah mengkaji besaran DMO dan keberlanjutan harga patokan batubara kelistrikan sebesar US$ 70 per ton yang akan berakhir pada tahun ini.
Baca Juga: Menteri ESDM: Program 35.000 MW selesai tiga tahun ke depan
Bambang mengisyaratkan besaran volume batubara DMO masih tetap sama, yakni sebesar 25% dari jumlah produksi. Sementara untuk harga, Bambang mengatakan pihaknya masih melakukan evaluasi.
"DMO sedang dievaluasi, tapi yang jelas volume kemungkinan tetap 25%. Harganya masih dievaluasi," kata Bambang saat ditemui di Kantor Kemenko Maritim dan Investasi, Selasa (19/11).
Untuk harga patokan, Bambang belum bisa memastikan keberlanjutan kebijakan tersebut. Sekalipun berlanjut, Bambang pun belum bisa memperkirakan apakah harganya masih US$ 70 per ton, atau akan ada perubahan. "Saya nggak bisa menyebutkan angkanya, yang jelas masih dievaluasi," ujarnya.
Baca Juga: Waduh! Risiko Pembiayaan Utang Emiten Batubara Meningkat
Kendati begitu, Bambang memastikan bahwa keputusan yang diambil akan melibatkan stakeholders terkait, termasuk pihak PT PLN (Persero) dan juga produsen batubara. "Semua stakeholders dilibatkan, lagi dibahas dulu lah. Supaya nanti keputusannya balance kepada siapa pun," sambung Bambang.
Bambang menyebut, pembahasan tersebut akan segera rampung sebelum tutup tahun. "Sebelum Desember selesai lah," imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengisyaratkan bahwa harga patokan batubara untuk kelistrikan tetap akan berlanjut. Menurut Arifin, akan lebih baik jika harga batubara untuk kelistrikan bisa dibuat stabil.
"Kalau bisa stabil (harga batubara untuk listrik) kenapa nggak? Ya kita juga harus menjaga kestabilan," kata Arifin.
Sebagai informasi, harga patokan untuk kelistrikan sebesar US$ 70 per ton diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang harga jual batubara untuk penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Beleid tersebut diterbitkan sejak Maret 2018, dan berlaku hingga akhir tahun ini.
Baca Juga: Disorot Moody's, perusahaan batubara yakin bisa atasi risiko refinancing
Harga patokan US$ 70 per ton tersebut mengacu pada spesifikasi kalori 6.322 kcal/kg GAR. Jika Harga Batubara Acuan (HBA) di bawah US$ 70 per ton, maka yang digunakan adalah harga yang berlaku saat itu. Adapun, HBA telah di bawah harga patokan. Pada bulan November, HBA ditetapkan sebesar US$ 66,27 per ton.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani mengungkapkan, PLN tak lagi bersikeras meminta perpanjangan harga patokan batubara untuk kelistrikan sebesar US$ 70 per ton. Hal itu lantaran Kementerian ESDM telah menetapkan 13 golongan tarif tenaga listrik yang akan terkena penyesuaian tarif alias tariff adjustment.
Selain itu, dalam beleid tersebut pergerakan harga patokan batubara juga telah menjadi salah satu faktor dalam penentuan penyesuaian tarif. "Nggak (meminta diperpanjang harga patokan batubara US$ 70 per ton) kalau sudah ada tariff adjustment. Karena memperhitungkan bagaimana fluktuasi harga batubara acuan sebagai indikator kebijakan (penyesuain tarif)," ungkap Sripeni beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Revisi Perpres DNI, Pemerintah Munculkan Daftar Positif Investasi
Aturan yang dimaksud Sripeni adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan ketiga atas Permen ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang tarif tenaga listrik yang disediakan oleh PT PLN (Persero). Dalam beleid yang diparaf oleh Menteri ESDM Ignatius Jonan pada 10 Oktober 2019 tersebut, ada empat faktor yang dapat mempengaruhi Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik.
Keempat faktor tersebut adalah nilai tukar dollar Amerika Serikat terhadap Rupiah (kurs), Indonesian Crude Price (ICP), inflasi, dan harga patokan batubara. Artinya, turun atau naiknya tarif listrik untuk golongan tarif adjusment tersebut bergantung dari pergerakan harga keempat komponen tersebut.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu P. Sjahrir berharap, patokan harga batubara tersebut tidak berlanjut. Dengan kondisi harga dan pasar batubara saat ini, Pandu menilai harga kembali berorientasi terhadap pasar supaya tidak terjadi distorsi.
Baca Juga: Revisi DNI, Menko Airlangga rancang daftar positif investasi
"Dengan itu harga bisa balik ke market oriented, kalau sekarang ada market distorsi," kata Pandu kepada Kontan.co.id, Rabu (13/11) pekan lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News