Reporter: Leni Wandira | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha industri mebel dan kerajinan Indonesia optimistis menatap tahun 2026. Mereka yakin pasar ekspor mebel dan kerajinan lebih prospektif seiring ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter global dan perbaikan sentimen konsumen.
Namun, pemulihan diperkirakan berlangsung secara bertahap dan selektif, dengan peluang terbesar pada produk bernilai tambah, berkelanjutan, dan berbasis desain.
Menurut Abdul Sobur, Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), sepanjang 2025 industri berada pada fase stabil dengan kecenderungan konsolidasi.
“Dari sisi produksi, pelaku usaha menjaga kapasitas secara hati-hati menyesuaikan dengan permintaan global yang belum sepenuhnya pulih. Ekspor relatif stagnan dibandingkan tahun sebelumnya, sehingga industri belum memasuki fase ekspansi,” jelas Sobur kepada Kontan, Selasa (23/12/2025).
Baca Juga: Industri Mebel dan Kerajinan Penuh Tantangan Meski PMI Manufaktur Kembali Ekspansi
Meski demikian, sektor mebel dan kerajinan tetap mampu memberikan kontribusi positif terhadap PDB manufaktur karena sifatnya yang padat karya dan berbasis ekspor. Tahun 2025 lebih tepat disebut tahun stabilisasi dan penyesuaian menunggu perbaikan permintaan global serta dukungan kebijakan pada 2026.
Permintaan global furnitur sepanjang 2025 masih dalam fase penyesuaian pasca-pengetatan ekonomi. Pasar Amerika Serikat dan Eropa mulai stabil, tetapi belum pulih sepenuhnya, sementara pasar Asia lebih resilien meskipun kompetitif.
“Memasuki 2026, prospek lebih optimistis, terutama pada segmen produk bernilai tambah, berkelanjutan, dan berbasis desain. Pelonggaran kebijakan moneter global dan perbaikan sentimen konsumen menjadi katalis utama,” tambah Sobur.
Industri mebel menghadapi tantangan internal seperti biaya pembiayaan tinggi, kebutuhan efisiensi produksi, serta pasokan bahan baku yang tidak selalu konsisten. Penerapan sertifikasi keberlanjutan juga menambah biaya dan memerlukan kesiapan teknis, terutama bagi UMKM yang mendominasi industri.
Sementara itu, tantangan eksternal meliputi fluktuasi biaya logistik, persaingan harga dengan Vietnam dan China, serta kebijakan perdagangan proteksionis di negara tujuan ekspor.
Implementasi European Union Deforestation Regulation (EUDR) di Uni Eropa menuntut ketelusuran bahan baku kayu dan due diligence yang ketat, menambah risiko hambatan non-tarif. Di pasar AS, potensi penerapan tarif resiprokal hingga 25% juga meningkatkan ketidakpastian akses pasar.
Menghadapi persaingan dan isu keberlanjutan, HIMKI menempatkan strategi green industry sebagai fokus jangka menengah. Strategi ini mencakup penggunaan bahan baku legal dan berkelanjutan, efisiensi energi, serta pengembangan desain produk bernilai tambah.
“Fokus utama tetap pada peningkatan produktivitas, diferensiasi produk, dan penguatan merek. Dukungan kebijakan berupa pembiayaan kompetitif, deregulasi tepat sasaran, dan fasilitasi ekspor yang efektif menjadi faktor penentu agar sektor mebel tetap unggul pada 2026,” ujar Sobur.
Dengan pendekatan tersebut, industri mebel dan kerajinan diharapkan mampu mempertahankan peranannya sebagai subsektor unggulan manufaktur nasional, sekaligus menangkap peluang di pasar global yang semakin selektif.
Baca Juga: Trump Mau Pasang Tarif Impor Furnitur, Bagaimana Nasib Mebel dan Kerajinan Indonesia?
Selanjutnya: AFPI: Skema Pembayaran Tadpole di Fintech Lending Banyak Diminati Masyarakat
Menarik Dibaca: KAI Dorong Pelanggan Manfaatkan Access by KAI untuk Mudahkan Perjalanan Nataru
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













