Sumber: TribunNews.com | Editor: Sanny Cicilia
MAKASSAR. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Kakao Indonesia, Sulaiman Loeloe meminta pemerintah untuk melakukan kajian lebih lanjut terkait usulan industri pengolahan kakao menghapus tarif impor terhadap biji kakao.
Menurut Sulaiman, pemerintah atau instansi terkait harus lebih berhati-hati dengan regulasi ini karena bisa jadi industri akan memprioritaskan membeli biji kakao dari luar dengan alasan kualitas dalam negeri kurang baik.
Menurutnya Indonesia akan kebanjiran produksi biji kakao dari luar yang secara otomatis akan menekan harga di tingkatan petani yang akan berimbas pada menurunnya minat petani melirik tanaman kakao.
Sulaiman menjelaskan tahun 2013 Sulsel merupakan penghasil kakao terbesar di Indonesia yakni 153.744 ton. Produksi tersebut merupakan hasil dari areal seluas 250.673 hektar yang dikembangkan petani.
Sementara untuk produksi kakao nasional sebanyak 712.231 ton pertahun, kapasitas terpasang industri untuk pengolahan biji kakao dalam negeri ada sekitar 16 pabrik.
Kemudian dari sisi impor, biji kakao fermentasi selama ini sekitar 300 ribu ton digunakan sebagai bahan utama industri dalam negeri karena kurangnya biji yang difermentasi.
"Kebijakan ini memang masih butuh pengkajian mendalam, sebab akan membuat impor biji kakao akan jauh lebih murah daripada produksi dalam negeri," ‎jelasnya, Jumat (2/5).
Sementara dikonfirmasi terpisah, Kepala Pasca Panen dan Informasi Perkebunan Dinas Perkebunan Sulsel, Rahman mengatakan, kebutuhan biji kakao fermentasi dalam negeri memang sangat besar.
Sehingga menurutnya mau tidak mau pemerintah harus mendatangkan bahan baku melalui pembebasan bea impor.
Untuk negaranya masih didominasi Pantai Gading dan ia juga mengakui kalau sejauh ini produksi kakao secara nasional menurun.
Rahman menyebutkan agar petani tidak usah khawatir dengan kebijakan ini sebab kebijakan pembebasan bea impor hanya difokuskan untuk biji kakao fermentasi. (Hajrah)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News