Reporter: Filemon Agung | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengaku tengah menyusun tata kelola niaga nikel termasuk soal Harga Patokan Mineral (HPM).
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, kebijakan soal HPM kini tengah diatur oleh Kementerian ESDM.
"Kebijakannya sedang diatur supaya HPM dipatuhi, nanti akan update terus. HPM jadi floor price," terang Yunus, Kamis (23/1).
Baca Juga: Kementerian ESDM targetkan lima smelter beroperasi di 2020, ini daftaranya
Yunus melanjutkan, baik penambang nikel maupun pengusaha smelter diharuskan mengikuti ketentuan yang ada. Jika tidak maka pihak yang melanggar akan dikenakan sanksi.
Mengutip catatan Kontan.co.id, kali lalu Yunus mengakui, saat ini penambang memikul beban yang lebih berat, lantaran ada kenaikan tarif royalti untuk ore nikel dari 5% menjadi 10%.
Karenanya, ESDM memastikan perhitungan harga pokok produksi (HPP) sebagai dasar harga domestik ini juga harus memasukkan komponen penambahan biaya akibat kenaikan royalti.
"Justru itu juga, berapa HPP dengan kenaikan royalti, kami lagi hitung," sebut Yunus.
Baca Juga: Kementerian ESDM siap jemput bola kebut proyek smelter
Yunus bilang, saat ini pihaknya masih mengumpulkan data guna mengkaji besaran HPP yang ideal.
Pengaturan ini pun dibahas dengan melibatkan stakeholders penambang dan pengusaha smelter, termasuk Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan Asosiasi Perusahaan Peleburan dan Pemurnian Indonesia (AP3l).
Tata kelola niaga nikel memang menjadi tuntutan yang terus disuarakan pelaku usaha.
Penambang nikel melalui Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) pun menagih pengaturan tentang tata niaga dan harga bijih nikel domestik antara penambang dan smelter.
Baca Juga: Produksi dan ekspor bijih nikel di 2019 melesat tajam
Pasalnya, sejak larangan ekspor ore nikel diberlakukan, banyak penambang yang memilih untuk tidak melakukan aktivitas penambangan.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan, langkah itu diambil lantaran kondisi tata niaga dan harga nikel domestik saat ini dinilai masih membebani penambang.
Apalagi, sambung Meidy, smelter lokal lebih memilih untuk menyerap ore nikel dengan kadar tinggi. "Jadi susah buat kita (penambang), yang diminta smelter lokal kadar tinggi, sedangkan harga jual untuk (nikel kadar rendah) tidak sesuai," katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (16/1).
Meidy menjelaskan, mekanisme harga yang berlaku sekarang ini diatur berdasarkan kesepakatan business to business (B to B) antara penambang dengan smelter. Seharusnya, harga berpatok pada Harga Patokan Mineral (HPM) yang diatur setiap bulan.
Namun, pada praktiknya daya tawar smelter dalam menentukan harga lebih besar dibanding penambang. Sehingga, harga nikel kadar rendah yang dipatok ke smelter berada di bawah standar HPM.
Adapun, harga domestik yang pernah dianjurkan Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) yakni dalam rentang US$ 27 - US$ 30 per metrik ton, pada praktiknya juga tidak terlaksana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News