Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hingga pertengahan November tahun ini, harga beras belum menunjukkan kenaikan yang signifikan. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Nasional (PIHPS), harga rata-rata beras hingga Jumat (15/11) masih berkisar Rp 11.800 per kg atau naik Rp 50 dari hari sebelumnya.
Meski begitu, Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas mengatakan stabilnya harga beras saat ini hanya bersifat semu. "Stabilitas semu artinya stabilitas yang tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya," tutur Dwi kepada Kontan.co.id, Minggu (17/11).
Baca Juga: Jelang akhir tahun, pasokan beras di Pasar Induk Beras Cipinang terjaga
Menurut Dwi, selama 2 bulan terakhir, harga gabah sudah bergerak di atas Rp 5.000 per kilogram, dan trennya terus menunjukkan kenaikan. Menurut Dwi, dengan kenaikan harga gabah tersebut, menunjukkan gabah yang sudah mulai langka di tingkat petani.
Dwi berpendapat, terdapat 2 faktor mengapa harga masih relatif stabil. Pertama, adanya keberadaan satgas pangan dan kedua, karena stok beras Perum Bulog yang masih melimpah.
Keberadaan satgas pangan, menurut Dwi, membuat pengusaha besar di bidang perberasan akhirnya tidak berani menimbun beras. Dengan begitu, pergerakan keluar-masuk beras akan relatif lebih lancar.
Baca Juga: Gudang penuh, Bulog proyeksi serapan beras di musim panen akan terganggu
"Oktober sebenarnya sudah mulai defisit. Defisit ini maknanya jumlah beras yang dikonsumsi lebih besar daripada yang dipanen, walaupun masih tertolong dari stok bulan sebelumnya. Tetapi karena in-outnya masih bagus, harga relatif stabil," jelas Tri.
Kedua, stok beras Bulog yang masih berkisar 2,3 juta ton pun turut mempengaruhi psikologi pasar. Dwi berpendapat, melimpahnya beras Bulog mempengaruhi pedagang untuk tidak menimbun beras.
Pasalnya, bila beras disimpan, Bulog akan menggelontorkan beras sehingga membuat harga kembali turun.
Meski faktor tersebut menahan kenaikan harga beras, Dwi juga mengatakan kondisi di lapangan tidak mendukung faktor tersebut. Apalagi, menurut Dwi, terjadi penurunan produksi beras sebanyak 2 juta ton di tahun ini.
Baca Juga: Antisipasi kenaikan harga pangan jelang Natal dan Tahun Baru, ini saran Ikappi
Dwi mengatakan, penurunan produksi tersebut diakibatkan bergesernya musim tanam selama 1 bulan, yang berdampak pada petani yang akhirnya menanam padi-palawija dibandingkan padi-padi.
"Di musim tanam pertama, hujan tidak turun, luas panen padi menurun cukup besar. Penurunan luas panen itu mengakibatkan produksi itu turun dibandingkan tahun lalu," terang Dwi.
Lebih lanjut Dwi menerangkan, bila stok beras di dalam negeri benar-benar sedikit, maka harga beras bisa melonjak tinggi.
Baca Juga: Harga pangan berpotensi meroket di akhir tahun, begini persiapan pemerintah
Dwi memperkirakan, tahun ini tidak akan ada surplus beras. Ditambah, beras Bulog bisa digunakan untuk operasi pasar sebesar 1,5 juta hingga 2 juta ton.
Padahal, kebutuhan beras per bulan bisa mencapai 2,5 juta ton. "Kita akan bergantung pada produksi di Januari dan Februari tahun depan," ujar Dwi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News