kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengendalian solar subsidi dicabut, begini tanggapan Aptrindo


Kamis, 03 Oktober 2019 / 17:55 WIB
Pengendalian solar subsidi dicabut, begini tanggapan Aptrindo
ILUSTRASI. BBM jenis Solar di SPBU Pertamina


Reporter: Filemon Agung | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) telah mencabut Surat Edaran Nomor 3865.E/Ka BPH/2019 tentang Pengendalian Kuota Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu (JBT) Tahun 2019. Keputusan tersebut mencabut Surat Edaran untuk mengendalikan kuota JBT jenis minyak solar bersubsidi yang diberlakukan oleh BPH Migas per 1 Agustus 2019.

Keputusan tersebut disambut baik oleh Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo). Menurut Wakil Ketua Aptrindo Kyatmaja Lookman, pencabutan pendalian solar bersubsidi itu sejalan dengan tuntutan yang disampaikan oleh Aptrindo kepada Kementerian ESDM dan BPH Migas.

"Kita menyambut baik, itu seperti tuntutan kami. Karena sangat menyulitkan kelangkaan solar dan pembatasan konsumsi," kata Kyatmaja kepada Kontan.co.id, Kamis (3/10).

Baca Juga: Surat edaran pengendalian kuota solar subsidi dicabut, penyaluran masih aman?

Kyatmaja menjelaskan, pengusaha truk dirugikan jika pembatasan kuota solar subsidi terus diberlakukan. Sebab, ketersediaan solar di beberapa daerah menjadi terbatas dan terjadi antrean yang merugikan bagi sektor usaha pengangkutan.

Setelah pembatasan itu dicabut, kata Kyatmaja, antrean sudah berkurang. "Sudah mendingan sekarang tidak antre, dan kami diperbolehkan untuk mengisi kembali solar bersubsidi. Walaupun di sebagian daerah masih ada kendala masalah komunikasi yang sepertinya belum sampai," terang Kyatmaja.

Kyatmaja menerangkan, angkutan berbasis truk menjadi salah satu konsumen solar bersubsidi terbesar. Solar subsidi pun memegang porsi yang dominan dalam komponen pembentukan biaya di bisnis angkutan berbasis truk, yakni mencapai 30%-40%.

"Kalau secara komponen biaya solar subsidi berada di 30%-40%, tergantung berat muatan," ungkapnya.

Oleh sebab itu, pada 23 September 2019 lalu, Aptrindo mengajukan tuntutan kepada Kementerian ESDM dan BPH Migas untuk mencabut Surat Edaran Nomor 3865.E/Ka BPH/2019 karena dinilai menimbulkan kekacuaan dan ketidak adilan dalam pendistribusian solar bersubsidi.

Bahkan, dalam tuntutan tersebut, Kyatmaja mengungkapkan pihaknya tidak keberatan jika subsidi solar dicabut dan ada penyesuaian harga menjadi Rp 7.150 per liter. Terkait hal ini, asal tahu saja, subsidi minyak solar pada tahun ini dianggarkan sebesar Rp 2.000 per liter.

"Kalau anggarannya tidak cukup, subsidi dicabut saja, tapi diumumkan secara nasional. Tapi yang terpenting ketersediaan solar di seluruh Indonesia bisa terjamin," jelasnya.

Kyatmaja menerangkan, kepastian ketersediaan pasokan dan juga besaran harga sangat diperlukan. Sebab, hal itu acuan dalam menentukan harga dari pengusaha angkutan ke konsumen.

"Angkutan barang itu ada cost strukturnya. harga BBM menjadi acuan di sektor logistik," ungkapnya.

Kyatmaja juga mengatakan, pencabutan subsidi solar yang menyebabkan ada kenaikan harga sekitar Rp 2.000 per liter, lebih positif bagi pengusaha ketimbang harus membeli BBM jenis non-subsidi lain yang harganya lebih mahal.

"Harga solar subsidi Rp 5.150, di subsidi Rp 2.000, jadi kalau tak subsidi Rp 7.150. Sekarang kalau misalnya disuruh konsumsi Pertamina Dex harganya Rp 11.600," terang Kyatmaja.

Baca Juga: Kadin: Surat edaran BPH Migas tentang penggunaan solar bersubsidi bisa hambat ekspor

Sebagai informasi, Dalam Surat bernomor 4487.E/Ka BPH/2019 yang diteken oleh Kepala BPH Migas M. Fanshurullah Asa pada 30 September 2019 tersebut, disebutkan bahwa pencabutan pengendalian kuota solar subsidi dimaksudkan untuk menjaga stabilitas di masyarakat.

Lebih lanjut, menurut Komite BPH Migas Henry Ahmad, hal itu dilakukan lantaran pengendalian kuota jenis BBM tertentu yang dalam hal ini jenis solar bersubsidi, belum berjalan efektif.

Henry mengatakan, Pertamina masih belum sanggup untuk mengimplementasikan pengendalian kuota solar bersubsidi di lapangan terhadap masyarakat yang berhak.

Henry mencontohkan, dalam surat edaran sebelumnya, BPH resmi melarang kendaraan bermotor pengangkutan hasil perkebunan, kehutanan dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari enam untuk menggunakan JBT jenis minyak solar.

Namun, Henry bilang persepsi terkait dengan jenis kendaraan yang dilarang ini tidak sama di setiap SPBU.

"Nah itu bagaimana memastikannya? Pertamina tak siap di lapangan. Ada ketidak samaan persepsi dari SPBU, jadi belum efektif. Jadi kita cabut agar tak terjadi kericuhan," katanya ke Kontan.co.id, Selasa (1/10).

Sebagai informasi, per 1 Agustus 2019 lalu, BPH Migas mengeluarkan Surat Edaran untuk mengendalikan kuota Jenis BBM Tertentu (JBT) jenis minyak solar untuk mengantisipasi over kuota. Asal tahu saja, kuota JBT minyak solar tahun 2019 ini dipatok 14,5 juta Kiloliter (KL) atau lebih kecil dibandingkan realisasi tahun lalu yang sebesar 15,58 juta KL.

Sementara itu, realisasi penyaluran JBT jenis solar dari Januari hingga 25 September 2019 sebesar 11,66 juta KL atau sebesar 80,46% dari kuota yang disiapkan. Padahal, realisasi normal tahunan berkisar di angka 73,42% dari kuota.

Sehingga, dalam surat edaran tersebut disebutkan, jika tidak dilakukan pengendalian JBT jenis solar, maka berpotensi over kuota. Berdasarkan prognosa dari BPH Migas, sampai dengan akhir Desember 2019 akan terealisasi sebesar 16,06 juta KL atau over kuota sebesar 1,56 juta KL dari kuota 2019.

Baca Juga: Kementerian ESDM tolak berikan kuota impor solar tambahan karena alasan ini

Henry mengungkapkan, kondisi dan proyeksi tersebut sudah disampaikan kepada pemerintah, yang dalam hal ini Kementerian ESDM. Alhasil, jika nanti realisasi penyaluran solar bersubsidi melebihi kuota, maka hal tersebut akan menjadi pembahasan antara Kementerian ESDM dan PT Pertamina (Persero).

"Pemerintah nanti ambil langkah apa, kondisi kritisnya sudah kita sampaikan. Masalah kemungkinan kurangnya kuota akan didiskusikan dengan pemerintah dan Pertamina," terang Henry.

Dalam surat bernomor 4487.E/Ka BPH/2019 itu, disebutkan bahwa Pertamina pun sebetulnya sudah memproyeksikan akan terjadi over kuota pada awal November 2019.

Kendati begitu, Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan hal tersebut masih merupakan estimasi.

Fajriyah mengklaim, Pertamina siap untuk menjalankan keputusan pemerintah dan BPH Migas selaku regulator. Baik dengan menyiapkan BBM bersubsidi maupun non-subsidi.

"Itu baru estimasi (over kuota di November). Kita sudah siap dengan infrastruktur maupun mekanisme penyaluran, kita siap sesuai dengan ketentuan," jelas Fajriyah ke Kontan.co.id, Selasa (1/10).

Apabila sebelum tutup tahun sudah terjadi over kuota, maka Fajriyah mengatakan pihaknya akan memperbanyak penyediaan BBM non-subsidi, seperti Pertamina Dex dan Dexlite.

"Kalau bener habis kuotanya, maka kami akan lebih banyak mempersiapkan jenin BBM non-subsidi, kita himbau masyarakat untuk beralih," kata Fajriyah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×