Reporter: Filemon Agung | Editor: Herlina Kartika Dewi
Kyatmaja menerangkan, kepastian ketersediaan pasokan dan juga besaran harga sangat diperlukan. Sebab, hal itu acuan dalam menentukan harga dari pengusaha angkutan ke konsumen.
"Angkutan barang itu ada cost strukturnya. harga BBM menjadi acuan di sektor logistik," ungkapnya.
Kyatmaja juga mengatakan, pencabutan subsidi solar yang menyebabkan ada kenaikan harga sekitar Rp 2.000 per liter, lebih positif bagi pengusaha ketimbang harus membeli BBM jenis non-subsidi lain yang harganya lebih mahal.
"Harga solar subsidi Rp 5.150, di subsidi Rp 2.000, jadi kalau tak subsidi Rp 7.150. Sekarang kalau misalnya disuruh konsumsi Pertamina Dex harganya Rp 11.600," terang Kyatmaja.
Baca Juga: Kadin: Surat edaran BPH Migas tentang penggunaan solar bersubsidi bisa hambat ekspor
Sebagai informasi, Dalam Surat bernomor 4487.E/Ka BPH/2019 yang diteken oleh Kepala BPH Migas M. Fanshurullah Asa pada 30 September 2019 tersebut, disebutkan bahwa pencabutan pengendalian kuota solar subsidi dimaksudkan untuk menjaga stabilitas di masyarakat.
Lebih lanjut, menurut Komite BPH Migas Henry Ahmad, hal itu dilakukan lantaran pengendalian kuota jenis BBM tertentu yang dalam hal ini jenis solar bersubsidi, belum berjalan efektif.
Henry mengatakan, Pertamina masih belum sanggup untuk mengimplementasikan pengendalian kuota solar bersubsidi di lapangan terhadap masyarakat yang berhak.
Henry mencontohkan, dalam surat edaran sebelumnya, BPH resmi melarang kendaraan bermotor pengangkutan hasil perkebunan, kehutanan dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari enam untuk menggunakan JBT jenis minyak solar.
Namun, Henry bilang persepsi terkait dengan jenis kendaraan yang dilarang ini tidak sama di setiap SPBU.
"Nah itu bagaimana memastikannya? Pertamina tak siap di lapangan. Ada ketidak samaan persepsi dari SPBU, jadi belum efektif. Jadi kita cabut agar tak terjadi kericuhan," katanya ke Kontan.co.id, Selasa (1/10).