kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.299.000   3.000   0,13%
  • USD/IDR 16.707   -11,00   -0,07%
  • IDX 8.395   57,53   0,69%
  • KOMPAS100 1.168   8,20   0,71%
  • LQ45 854   5,85   0,69%
  • ISSI 291   2,33   0,81%
  • IDX30 444   1,43   0,32%
  • IDXHIDIV20 513   2,30   0,45%
  • IDX80 132   1,04   0,80%
  • IDXV30 138   1,56   1,14%
  • IDXQ30 141   0,50   0,35%

Penggunaan Biodiesel B50 Dinilai Tingkatkan Biaya dan Risiko Alat Tambang


Minggu, 09 November 2025 / 18:16 WIB
Penggunaan Biodiesel B50 Dinilai Tingkatkan Biaya dan Risiko Alat Tambang
ILUSTRASI. Kementerian ESDM targetkan B50 pada 2026. PERTAABI dan ASPINDO khawatir dampaknya pada performa, biaya operasional, dan perawatan alat tambang. Simak analisis lengkapnya!. KONTAN/BAihaki/6/10/2025


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA.  Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan penerapan mandatori biodiesel 50% (B50) pada tahun 2026. B50 merupakan bahan bakar solar yang mengandung 50% minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO).

Namun, kebijakan ini memunculkan kekhawatiran dari Perkumpulan Tenaga Ahli Alat Berat Indonesia (PERTAABI) terkait dampaknya pada performa dan biaya operasional alat berat, khususnya di sektor pertambangan.

Menurut Ketua Umum PERTAABI, Rochman Alamsjah, tujuan dari penerapan biodiesel ini adalah agar Indonesia dapat mencapai ketahanan energi, energi hijau, dan net zero emission (NZE).

"Kami senantiasa pada posisi mendukung. Namun, dalam perjalanannya, harus diperhitungkan. Kami setuju energi hijau diperlukan, tetapi terkait risiko mitigasi perlu dipertimbangkan," kata dia saat dihubungi, dikutip Minggu (9/11/2025).

Baca Juga: Produksi Minyak Sawit Naik 13%, Konsumsi Biodiesel Jadi Penopang Utama

Rochman menambahkan, menurutnya mencapai NZE bisa dilakukan salah satunya dengan elektrifikasi. Selain itu, ada konsumsi energi hibrida (hybrid energy consumption), juga bentuk konservasi energi.

"Biodiesel juga memiliki misi kurang lebih sama. Namun, para teknisi masih meragukan mengingat dampak dan risikonya," tambahnya.

Dampak Penggunaan Biodiesel pada Performa Alat Tambang

Secara garis besar, Rochman menyoroti dampak penggunaan biodiesel pada performa alat atau mesin tambang.

Biodiesel, ungkap dia, adalah salah satu bentuk energi pencampuran antara bahan bakar (fuel) dan fatty acid methyl ester (FAME).

"Yang harus dipertimbangkan dari sisi ketahanan mesin. Apakah dengan penggunaan biodiesel akan menghasilkan energi yang sama apabila dibandingkan solar murni. Kemudian dari aspek biaya dan kontribusi kepada pemerintah," ungkap dia.

Menurut PERTAABI, biofuel memiliki sifat higroskopis yang tinggi. Sederhananya, higroskopis artinya kemampuan suatu zat untuk menyerap kelembapan dari udara di sekitarnya. Sehingga, bahan yang memiliki sifat higroskopis tinggi akan mudah menarik air dari lingkungan.

Sifat inilah yang membuat biofuel, salah satunya biodiesel, rentan terkena oksidasi yang memungkinkan tumbuhnya mikrobial dan biologikal di dalam bahan bakar.

Baca Juga: Petani Sawit Minta Pemerintah Batalkan Rencana Kenaikan Mandatori Biodiesel B50

"Hal itu akan menurunkan kualitas bahan bakar. Filter pada permesinan juga gampang tersumbat," kata dia.

Kemudian juga, dari biofuel itu, densitas (density) atau kepadatan juga lebih besar daripada solar murni, sehingga butiran pengabutan di dalam sistem injeksi bahan bakar akan menjadi lebih besar.

"Ini membuat umur injektor menjadi lebih rendah. Belum lagi risiko untuk blowback pressure di dalam sistem permesinan juga meningkat. Sebab, viskositas yang tinggi di dalam FAME menyebabkan kontaminasi di dalam pelumas. Pelumasan menjadi berkurang di dalam komponen-komponen permesinan. Ini semua yang memicu peningkatan biaya perawatan," jelas Rochman.

Biodiesel dan Dampak pada Peningkatan Biaya Alat Tambang

Bercermin dari penerapan B35 tahun lalu dan B40 tahun ini, Rochman bilang terdapat peningkatan pembiayaan kurang lebih 17 persen untuk pemeliharaan dan perbaikan (repair maintenance) alat.

Khususnya, di sektor pertambangan, sekitar 35-38 persen biaya operasional dalam komposisi biaya operasional sektor pertambangan teralokasi untuk bahan bakar.

"Jika menggunakan biodiesel, maka dengan nilai kalor lebih rendah daripada B0 (atau 0% FAME), biaya bahan bakar akan meningkat lagi berkisar 5-7 persen," kata dia.

Baca Juga: Uji Coba B50 Hampir Rampung, Bahlil Sebut Bakal Diterapkan Semester II Tahun 2026

Di luar bahan bakar, ada biaya perawatan permesinan (maintenance). Biaya perawatan permesinan berkisar 25-30 persen dalam satuan biaya operasional.

"Dampak penggunaan biofuel, biaya perawatan permesinan akan meningkat lagi berkisar 15-17 persen," jelasnya.

Dalam kesimpulannya, Rochman bilang perlu ada periode transisi dengan penelitian lagi terkait biofuel, terutama terkait mandatori B50 tahun depan, sembari menunggu hasil evaluasi dari penerapan B40 tahun ini.

"Perlu ada periode transisi dengan penelitian lagi terkait biofuel. Saat ini sudah menggunakan B40, tahun lalu sudah menggunakan B35, tahun depan didorong menggunakan B50," katanya.

Terkait cost, Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (ASPINDO) juga mengemukakan hal senada. Menurut Direktur Eksekutif ASPINDO, Bambang Tjahjono, semakin tinggi kadar biodiesel dalam bahan bakar, maka semakin tinggi disparitas harga Crude Palm Oil (CPO) dengan solar dalam kandungan bahan bakar.

"Yang jelas, makin tinggi kadar biodiesel, maka makin berat cost total, lebih boros. Ini berkaitan juga dengan kadar air makin cepat meningkat, berdampak pada umur filter (peralatan tambang) yang makin pendek," jelas dia kepada Kontan, Minggu (9/11/2025).

Menurutnya, sambil menunggu kualitas biodiesel diperbaiki secara signifikan, ASPINDO mendukung penggunaan alat tambang berbasis listrik atau Electric Vehicle (EV).

Baca Juga: Asosiasi Tambang Minta Pertimbangkan Penggunaan B50, ESDM: Bukan Masalah Teknis

"Kalau pemakaian truk EV meningkat, setidaknya 5-10 tahun ke depan, otomatis pemakaian biodiesel turun, dengan harapan saat itu kualitas biodiesel di dalam negeri sudah meningkat," jelas dia.

Sebagai gambaran, dalam catatan Kontan, berdasarkan data dari Direktur Jenderal (Dirjen) Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, untuk menyambut B50, Indonesia memerlukan sekitar 19,73 hingga 20,1 juta kiloliter (kl) biodiesel, yang diproyeksikan dapat menekan konsumsi solar hingga 20 juta kl per tahun pada semester II-2026.

Dalam catatan Kementerian ESDM juga, pemanfaatan biodiesel dari tahun 2020 hingga 2025 telah berhasil menghemat devisa hingga US$ 40,71 miliar.

Dan dengan penerapan B50 tahun depan, pemerintah memproyeksikan adanya potensi penghematan devisa tambahan yang sangat besar, yakni mencapai US$ 10,84 miliar hanya dalam satu tahun implementasinya di 2026.

Selanjutnya: Analisis Pertandingan Celta Vigo vs Barcelona dan Link Streaming Resmi Vidio

Menarik Dibaca: Tanaman Herbal untuk Obat Sakit Perut, Redakan Nyeri dengan Pengobatan Rumahan!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×