Reporter: Adisti Dini Indreswari | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Bercermin dari kondisi selama kuartal I-2015, pengusaha ritel pesimistis bisa mencatatkan pertumbuhan double digit sepanjang tahun ini. Pengusaha ritel memproyeksikan bisnis ritel hanya bisa tumbuh 5%-6%.
Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, bisnis ritel selalu tumbuh double digit. "Tahun ini bisa tumbuh 6% saja sudah bagus, dengan catatan pemerintah tidak membuat peraturan yang membatasi ekspansi," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Pudjianto usai pembukaan musyawarah nasional (munas) Aprindo di Jakarta, Rabu (1/4).
Pudjianto bahkan menyebut tahun ini sebagai tahun yang berat bagi industri ritrl. Pasalnya, daya beli masyarakat menurun sebagai buntut dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan utilitas lainnya. Belum lagi pelemahan rupiah yang semakin dalam.
Terkait pelemahan rupiah, Pudjianto memperkirakan peritel yang menjual produk impor akan mengerek harga produknya berkisar antara 5%-10% pada bulan April 2015 ini. "Kemarin peritel belum menaikkan harga produk karena masih punya atok. Nah, sekarang stok sudah mulai menipis," terangnya.
Meski kenaikannya tidak terlalu besar, namun Pudjianto meramalkan dampak psikologisnya akan cukup terasa di masyarakat. Makanya, dia berharap produsen tidak mengerek harga produknya terlalu tinggi.
Sedangkan menurut prediksi Direktur Nielsen sekaligus Staf ahli Aprindo Yongky Susilo, pertumbuhan bisnis ritel tahun ini di bawah 5%. Besarnya kurang lebih sama dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
Tahun ini, kata Yongky, pengusaha ritel menghadapi dilema. "Kalau buka toko, bottom line akan jatuh. Tapi kalau tidak buka toko, bottom line juga tipis," urainya.
Sementara itu Menteri Perdagangan Rahmat Gobel menyebut omzet bisnis ritel tahun lalu tembus Rp 500 triliun. Omzet sebesar itu berasal dari 40 anggota Aprindo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News