kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.871.000   -23.000   -1,21%
  • USD/IDR 16.405   -25,00   -0,15%
  • IDX 7.172   30,54   0,43%
  • KOMPAS100 1.044   3,16   0,30%
  • LQ45 813   1,58   0,19%
  • ISSI 225   0,08   0,04%
  • IDX30 425   1,08   0,25%
  • IDXHIDIV20 510   -0,54   -0,11%
  • IDX80 117   0,01   0,01%
  • IDXV30 121   -0,61   -0,50%
  • IDXQ30 140   0,12   0,08%

Penjualan Mobil Landai, Gaikindo & LPEM UI Soroti Pajak Tinggi dan Insentif Otomotif


Selasa, 20 Mei 2025 / 09:33 WIB
Penjualan Mobil Landai, Gaikindo & LPEM UI Soroti Pajak Tinggi dan Insentif Otomotif
ILUSTRASI. MPV All New Veloz pada ruang pamer Toyota di ajang pameran IIMS 2023. Indonesia berada di jalan terjal untuk kembali mencapai penjualan 1 juta unit mobil setahun di tengah pajak tinggi, butuh insentif pendorong.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia berada di jalan terjal untuk kembali mencapai penjualan 1 juta unit mobil dalam setahun. Di tengah tren penjualan yang sedang melandai, pemberian insentif dan evaluasi perpajakan bisa menjadi opsi untuk kembali menggairahkan industri otomotif.

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara mengungkapkan pemberian insentif terbukti menjadi faktor penggerak industri yang signifikan. Terutama ketika pasar berhadapan dengan krisis maupun pelemahan daya beli.

Dia mencontohkan ketika pandemi covid-19 pada tahun 2020, penjualan mobil (wholesales) hanya menyentuh level 532.000 unit. Tetapi setelah pemerintah mengucurkan insentif, penjualan mobil mendaki ke level 867.000 unit pada 2021 dan kembali menembus 1 juta unit pada 2022 dan 2023.

Baca Juga: Rupiah Anjlok, Harga Jual Mobil di Indonesia Berpotensi Naik

Namun, di tengah berbagai dinamika ekonomi, penjualan mobil turun lagi ke level 865.000 unit pada 2024. Pada tahun ini, Gaikindo menaksir penjualan mobil hanya akan menyentuh level 850.000 unit.

"Insentif untuk jangka pendek sangat menolong dan mendorong industri kita. Sayangnya kemudian kondisi ekonomi juga berpengaruh, (penjualan mobil) turun lagi. Tapi terbukti bahwa insentif itu berfungsi," ungkap Kukuh dalam diskusi yang digelar Forum Wartawan Industri (Forwin), Senin (19/5).

Kukuh kemudian memberikan perbandingan dengan tingkat penjualan mobil dengan beberapa negara di Asia Tenggara. Kukuh menyoroti penjualan mobil domestik Malaysia yang tahun lalu sudah menyalip Thailand.

Penjualan mobil Malaysia ke pasar domestik mencapai 816.747 unit, atau menempati posisi kedua setelah Indonesia. Menurut Kukuh, tingkat penjualan mobil di Malaysia masih bisa mendaki karena pemerintah di sana masih mengucurkan insentif seperti di era pandemi covid-19.

"Malaysia yang jumlah penduduknya sekitar 30 juta lebih, kenapa pasarnya bisa sampai 800.000? Informasi kolega kami di Malaysia, tampaknya mereka masih mempertahankan kebijakan pada waktu pandemi, belum dicabut. Ini juga ternyata berdampak terhadap pasarnya," terang Kukuh.

Baca Juga: Suzuki Pastikan Akan Jual Mobil Listrik e-Vitara di Indonesia pada 2026

Selain itu, Kukuh juga menyoroti regulasi perpajakan. Pasalnya, Indonesia menjadi salah satu negara dengan pajak kendaraan bermotor tertinggi di dunia.

"Saya pernah di Vietnam, berbicara dalam forum internasional. Di situ ada komplain, Indonesia salah satu negara yang pajaknya mungkin paling tinggi. Saya kaget. Begitu ditunjukan, saya cuman bisa senyum, karena memang benar," kata Kukuh.

Kukuh bahkan mengilustrasikan, mobil dari pabrik seharga Rp 100 juta bisa menjadi Rp 150 juta saat dibeli oleh konsumen. Kukuh juga membandingkan tarif pajak Indonesia untuk jenis mobil yang sama, jauh lebih mahal ketimbang negara tetangga, Malaysia.

Sebagai ilustrasi untuk mobil jenis Avanza, Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama (BBN) di Malaysia tidak lebih dari Rp 1 juta. Sedangkan di Indonesia mencapai sekitar Rp 6 juta. Berbeda dari Indonesia, di Malaysia juga tidak ada wajib perpanjangan lima tahun.

Kukuh juga menyoroti pengenaan pajak barang mewah kepada mobil jenis tertentu. Padahal, jenis mobil tersebut lebih banyak dipakai oleh masyarakat sebagai kebutuhan untuk mencari nafkah. 

Baca Juga: Rupiah Anjlok, Harga Jual Mobil di Indonesia Berpotensi Naik

Menurut Kukuh, perlu evaluasi menyeluruh agar ada kebijakan jangka panjang yang bisa mendorong pertumbuhan industri secara berkelanjutan. Apalagi dengan cepatnya berkembangan teknologi yang melahirkan jenis atau model kendaraan terbaru.

"Mungkin perlu evaluasi, karena kita memerlukan kebijakan yang bisa bertahan untuk jangka panjang. Tapi di sisi lain juga perlu meningkatkan daya beli. karena mau dikasih (insentif) apa pun, kalau masyarakat nggak punya daya beli akan sulit," tandas Kukuh.



TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Digital Marketing for Business Growth 2025 : Menguasai AI dan Automation dalam Digital Marketing

[X]
×