Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
Menariknya, serangan Ganoderma bukan hanya terbatas pada tanaman kelapa sawit generasi kedua, melainkan juga telah menyerang tanaman generasi pertama. Penelitian lebih lanjut dan pendanaan dari BPDPKS diharapkan dapat menghasilkan mitigasi baru untuk mengatasi masalah ini.
Sekitar tahun 2050 hingga 2100, produksi kelapa sawit diperkirakan tidak akan berkelanjutan jika serangan Ganoderma terus meningkat. Oleh karena itu, simposium ini menjadi penting untuk mencari solusi nyata agar Ganoderma tidak lagi menjadi ancaman bagi kelapa sawit Indonesia.
Ketua Bidang Agronomi P3PI, Dadang Gusyana, menyatakan bahwa perlu ada langkah-langkah konkret dalam menghadapi ancaman Ganoderma. Penggunaan trichoderma dan teknologi drone untuk deteksi dini sudah menjadi bagian dari upaya pengendalian, tetapi masih dibutuhkan lebih banyak riset untuk mengembangkan strategi yang lebih efektif.
Kepala Dinas Perkebunan Jambi, Agus Rizal, menekankan pentingnya kolaborasi antarpihak untuk mengendalikan Ganoderma, terutama dalam mendukung perkebunan rakyat. Total luas lahan yang terkena Ganoderma di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun, upaya untuk mengembalikan kondisi tanah dan mengoptimalkan penggunaan organisme antagonis seperti mikoriza dan trichoderma menjadi langkah krusial.
Baca Juga: Pembukaan lahan jadi faktor penting dalam program peremajaan sawit rakyat
Sekjen P3PI, Hendra J Purba, menyoroti kebijakan penyelenggaraan simposium di Bandung, bukan di provinsi sentra sawit. Ini bertujuan untuk memperkenalkan kelapa sawit ke wilayah-wilayah yang belum terjangkau, sekaligus mempromosikan kereta cepat Woosh sebagai alternatif transportasi bagi peserta dari seluruh Indonesia.
Dengan langkah-langkah konkret dan kolaboratif, diharapkan industri kelapa sawit dapat tetap menjadi tulang punggung ekonomi nasional tanpa terpengaruh oleh ancaman Ganoderma yang semakin meningkat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News