Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
Ia menerangkan kompleksitas dan karakteristik masing-masing daerah menjadi kendala utama molornya penyusunan RUED ini. Selain itu, baik RUEN maupun RUED merupakan hal yang baru, sehingga memerlukan penyesuaian.
Dalam waktu dekat, lanjut Rinaldy, keterlambatan RUED tidak akan berpengaruh signifikan pada kecukupan dan target energi. Namun, jika RUED tak lekas tuntas, Rinaldy bilang ini akan menganggu target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025.
"Kalau soal kecukupan energi di daerah dalam janghka pendek tidak terganggu. Tapi kalau ini (RUED) tidak ada, jelas akan mengganggu target 23% bauran EBT. Long term effect, jangka panjang sampai 2050 itu perlu RUED," jelas Rinaldy.
Rinaldy menyebut, dari lima prioritas pembangunan energi nasional, EBT menjadi yang diutamakan. "Pertama maksimumkan pembangunan EBT, kedua kurangi penggunaan minyak, ketiga maksimumkan penggunaan gas. Kalau ketiganya sudah dilakukan, tutupi dengan batubara. Kalau keempatnya tidak mencukupi setalah dilakukan secara maksimal, nuklir sebagai pilihan terakhir," jelasnya.
Menurut Rinaldy, tak ada sanksi dan insentif langsung untuk mendorong percepatan RUED. Namun, dengan adanya RUED, bisa saja pemerintah pusat akan memberikan prioritas guna membantu pembangunan energi. khususnya dalam EBT.
Kendala lainnya ialah soal dinamika politik di daerah, baik itu pergantian di tataran eksekutif maupun legislatif pada tahun 2019 mendatang. Karenanya, DEN menyambut baik usulan dari pihak Kementerian Dalam Negeri untuk mendorong penyelesaian RUED dengan membentuk tim asistensi dan supervisi, termasuk soal pemuatan target waktu dan sanksinya.
"(Kepada pihak Pemda dan DPRD ditekankan) anda punya tanggung jawab saat ini, untuk berpikir sampai 2050, walaupun anda tidak akan menjabat sampai tahun 2050. Itu lah urgensinya kita mendapampingi," tandas Rinaldy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News