Reporter: Kiki Safitri | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perum Bulog menyarankan pabrik gula badan usaha milik negara (PG BUMN) untuk mengalihkan sistem beli tebu petani dari bagi hasil menjadi beli putus.
Sistem beli putus ini dilakukan Bulog karena sudah tidak kuat menampung pasokan petani. Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menilai hal ini akan berdampak pada petani gula.
“Dampaknya adalah jelas pada petani. Dampak pertama harganya akan murah sekali dan kedua pencairan dananya juga belum tentu bisa langsung dan pasti tersendat,” kata Ketua Umum DPN APTRI Soemitro Samadikoen saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (2/10).
Akibat harga murah dan pencairan dana yang tersendat, akan berujung pada penjualan gula asal laku. Hal inilah kemudian yang menimbulkan kerugian bagi petani gula di mana gairah petani dalam menanam tebu akan berkurang.
“Kalau berkurang ya di babat tebunya dan di ganti tanaman lain, itu dampak ekonomisnya,” ujarnya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat juga dampak psikologis di mana proses penanaman tebu membutuhkan waktu yang lama dengan biaya yang tinggi.
Ini berbeda dengan tanaman pangan lain seperti jagung, tembakau, bawang merah dan bawang putih yang dapat di panen 4 hingga 5 bulan.
“Menanam tebu tidak mudah, kalau gula harganya baik kita minta mereka (petani) menanam tebu lagi. Karena menanam tebu itu menunggunya satu tahun, biaya tanamnya mahal, benihnya aja mahal,” ungkapnya.
Berbeda dengan padi yang dalam 1 ha mampu menampung bibit 25 Kg dengan harga bibit per Kg adalah Rp 10.000 hingga Rp 20.000, dan hasilnya Rp 500.000.
Beda dengan tebu yang sekali penanaman mampu meraup keuntungan Rp 5 juta hingga Rp 10 juta. “Kalau hasilnya belum tentu kan kita sama saja cari kerugian berganda,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News