Reporter: Noverius Laoli | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Kementerian Perdagangan (Kemendag) berupaya dengan segala cara untuk menekan harga gula menjadi Rp 12.500 per kilogram (kg) sesuai keinginan Presiden Joko Widodo.
Salah satunya adalah dengan membuka keran impor gula mentah atau raw sugar untuk diolah jadi gula konsumsi oleh delapan importir swasta pada tahun ini. Padahal pada akhir tahun 2016 lalu, masih ada stok gula tersisa sebanyak 800.000 ton, plus gula eks impor sebesar 1 juta ton.
Keputusan Kemendag ini tidak saja berpotensi merugikan petani tebu karena harus menjual gula dengan harga rendah, tapi juga Perum Bulog yang sudah mendapat penugasan menyerap 180.000 ton gula produksi PT Perusahaan Nusantara dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Dengan masuknya gula impor dikhawatirkan gula yang diserap Bulog harus bersaing dengan swasta dengan harga rendah.
"Sebelumnya, Bulog mendapatkan tugas menyerap gula PTPN, tapi di tengah perjalanan pemerintah juga memberikan izin kepada swasta impor gula, mudah-mudahan gula milik Bulog bisa terjual," ujar Direktur Pengadaan Bulog Tri Wahyudi Salah kepada KONTAN, akhir pekan lalu.
Ia mengatakan pada tahun lalu telah berhasil menyerap 180.000 ton gula produksi PTPN dan RNI. Kemudian pada tahun ini, Bulog kembali harus menyerap gula produksi BUMN tersebut dengan produksi yang hampir sama dengan tahun lalu.
Bulog menyiapkan anggaran sekitar Rp 1,9 triliun untuk itu. Nantinya sekitar 150.000 ton gula milik Bulog ini rencananya akan dijual PT Pertani Persero. Selain itu pada tahun 2016, Bulog juga mendapat penugasan mengimpor gula sebesar 267.000 ton ditambah 100.000 ton white sugar. Gula tersebut sebagian besar dijual pada tahun 2017 ini.
Sekretaris Jenderal Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M. Nur Khabsyin mengatakan, Kemendag tidak perlu menambah izin impor gula mentah sebanyak 400.000 ton. Pasalnya kebutuhan gula konsumsi untuk tahun 2017 telah tercukupi dari stok tahun 2016 dan produksi gula di dalam negeri.
Menurutnya, stok gula dari produksi giling tahun 2016 ada sebanyak 800.000 ton ditambah sisa eks impor tahun 2016 sebesar 1 juta ton. Stok ini dinilai masih sangat cukup, bahkan lebih sampai dengan musim giling tahun 2017 yang dimulai pada bulan Mei 2017. "Distribusi gula yang diolah oleh perusahaan rafinasi berpotensi lebih dari jumlah yang diimpor karena bisa saja gula rafinasi ikut dipasarkan," ujarnya.
Ia menjelaskan, produksi gula tahun 2016 adalah 2,2 juta ton. Sedangkan kebutuhan sebesar 2,7 juta ton dengan perhitungan konsumsi gula per orang per tahun 12 kg dikali jumlah penduduk 250 juta lalu dikurangi 10 %. Data ini berbeda dengan data Kemendag yang menyebutkan produksi gula tahun 2016 hanya 2,1 juta ton dan kebutuhan gula mencapai 3,2 juta ton hingga 3,5 jut ton 2017.
Menurut hitungan Aptri, impor gula konsumsi sepanjang tahun 2016 mencapai 1,426 juta ton yang terdiri dari impor yang dilakukan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) 300.000 ton, Perum Bulog 267.000 ton ditambah 100.000 ton white sugar, PT. Perusahaan Nusantara/RNI 114.000 ton, Commissioning test untuk Pabrik Gula (PG) KTM PG Dompu PG glenmore 270.000 ton, untuk PG Gorontalo 25.000 ton, PG Adi karya gemilang 50.000 ton. Masih ditambah gula untuk operasi pasar oleh Inkopol, Inkopkar dan lain-lain sebesar 400.000 ton.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan Kemendag memberikan izin impor gula sebesar 400.000 ton kepada swasta karena ada kekurangan stok gula konsumsi dalam negeri sekitar 1,1 juta ton.
Hal itu berdasarkan perhitungan Kemendag produksi gula tahun lalu sebesar 2,1 juta ton, sementara kebutuhan gula tahun ini antara 3,2 juta ton hingga 3,5 juta ton. Untuk itu, mengantisipasi kekurangan gula dalam negeri, Kemendag memberikan izin impor sebesar 400.000 ton gula mentah untuk diolah di dalam negeri menjadi gula konsumsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News