Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Pemerintah berencana untuk mengenakan pajak barang mewah alias PPnBM untuk ponsel berteknologi tinggi alias smartphone. Lantas, apa tanggapan dari pelaku usaha menanggapi rencana pemerintah ini?
Head of Marketing PT Nokia Indonesia, Lukman Susetio mengaku belum bisa berkomentar banyak, alasannya adalah, belum ada pembahasan teknis soal rencana tersebut.
Menurutnya, pemerintah harus memastikan detail terkait persyaratan smartphone yang akan dikenakan pajak barang mewah atau PPnBM tersebut. "Kami masih tunggu detailnya terlebih dahulu dari pemerintah, yang penting semuanya clear," ujarnya di Jakarta, Jumat (30/8).
Menurut Lukman, selain standar harga, pemerintah harus merinci teknologi apa yang bisa dikategorikan sebagai smartphone kelas mewah yang bebas dari PPnBM.
Ia menilai, teknologi dalam industri telepon selular(ponsel) terus mengalami perkembangan, dan smartphone dengan harga di bawah Rp 5 juta saja, kini banyak yang berteknologi tinggi.
Lukman mengatakan, dampak utama pengenaan PPnBM adalah kenaikan harga product smartphone. "Dampak utamanya harga smartphone akan naik, kemudian kami akan sulit bersaing terkait penerapan teknologi baru dengan negara lain," ujarnya.
Dengan adanya aturan baru itu, ia menilai, masyarakat akan sulit menjangkau teknologi tinggi yang diterapkan smartphone. Padahal, teknologi tinggi smartphone untuk mendukung konektivitas masyarakat di seluruh daerah, termasuk mendorong pertumbuhan ekonomi negara.
Black market kian merebak
Direktur Pemasaran dan Komunikasi PT Erajaya Swasembada Tbk, Djatmiko Wardoyo, mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk menjalankan kebijakan dari pemerintah, jika memang pengenaan PPnBM diterapkan.
"Pelaku usaha tetap harus menjalani, tetapi ada hal yang paling penting, yaitu masih banyaknya black market(pasar gelap)," ujarnya.
Menurut Djatmiko, pasar gelap produk ponsel masih marak di Indonesia, dan hal ini diakui pemerintah. "Kekhawatiran pelaku usaha bukan bersaing sesama kompetitor tetapi adanya produk ilegal dari black market," ujarnya.
Djatmiko mencontohkan, jika ponsel resmi berharga Rp 3 juta per unit maka ponsel ilegal berharga sekitar Rp 2,7 juta. Nah, jika adanya penerapan PPnBm sekitar 10%-20% maka harga ponsel resmi di pasaran sekitar Rp 3,5 juta sehingga perbedaannya sebesar Rp 800.000.
"Konsumen akan tergoda untuk menggunakan produk smartphone dari black market karena beda harganya sangat jauh," ujarnya. Menurut Djatmiko, pemerintah harus memastikan sanggup untuk menurunkan jumlah peredaran ponsel ilegal secara signifikan baru menerapkan PPnBM.
Ia menilai, jika black market tidak segera diberantas maka, ketika PPnBM diterapkan pemerintah tidak akan mendapatkan apa-apa. "Pendapatan negara dari PPnBM tidak akan maksimal, sedangkan penerimaan dari pajak penghasilan industri ponsel yang mencapai Rp 1 triliun per tahun akan berkurang," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, rencana pemberlakuan PPNBM untuk ponsel disampaikan oleh Plt Kepala Badan Kebijakan FIskal (BKF) Kementerian Keuangan, Bambang Brodjonegoro. Menurutnya, selama ponsel smart phone bukan termasuk barang mewah.
Bambang menjelaskan, dilihat dari jenis barangnya, smart phone merupakan barang yang sudah seharusnya dikategorikan sebagai barang mewah. Sebab, semua komponen yang terdapat dalam smart phone merupakan produk impor.
Karena akan dikategorikan sebagai barang mewah, maka Pemerintah nantinya akan membuat kategorisasi dari smart phone tersebut. "Bisa dilihat dari tingkat teknologinya, seperti pada mobil itu menggunakan CC," ujar Bambang.
Seperti diketahui, pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah mengenai PPnBM untuk memperbaiki neraca perdagangan yang selama ini terus defisit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News