Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor pariwisata Indonesia memiliki potensi ekonomi yang besar, namun daya tariknya bagi investor global masih tertahan oleh sejumlah tantangan mendasar, mulai dari konektivitas, infrastruktur, hingga kualitas sumber daya manusia.
Padahal, sektor ini diproyeksikan mampu meningkatkan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dari 4,1% menjadi 6% pada 2029.
Vice President Corporate Secretary InJourney, Yudistira Setiawan, mengatakan nilai aset pariwisata Indonesia saat ini merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Namun dari sisi jumlah kunjungan wisatawan, Indonesia masih tertinggal dari Singapura, Thailand, Malaysia, dan Vietnam.
“Kenapa kita punya aset sebesar itu, tapi tingkat kunjungannya justru paling rendah? Ini yang harus jadi perhatian bersama,” ujarnya dalam forum Indonesia Tourism Outlook 2026 di Jakarta, Rabu (29/10).
Baca Juga: Panorama (PANR) Catat Kenaikan 15% pada Paket Wisata Multi-Destinasi Asia Tenggara
Yudistira menilai peningkatan investasi tidak cukup hanya dengan menyediakan lahan atau proyek, tetapi harus didukung oleh penguatan positioning destinasi wisata dan konektivitas langsung ke pasar potensial. Kejelasan arah pengembangan destinasi menjadi kunci bagi investor untuk menilai prospek jangka panjang.
“Keberhasilan menarik investasi pariwisata sangat bergantung pada diferensiasi dan kemudahan akses ke lokasi. Investor akan melihat sejauh mana destinasi itu punya arah pengembangan yang jelas dan bisa dihubungkan langsung dengan pasar utama,” katanya.
Executive Director JLL Indonesia, Vivin Harsanto, mengungkapkan prospek investasi pariwisata di Indonesia sebenarnya menjanjikan, tetapi belum menjadi prioritas utama bagi investor global.
Dalam beberapa tahun terakhir, investor cenderung memilih sektor properti dengan tingkat pengembalian lebih stabil seperti data center, logistik, fasilitas kesehatan, dan pendidikan.
“Hotel di Bali memang jadi pengecualian karena performanya stabil dan tingkat okupansinya sehat. Tapi di luar Bali, sektor pariwisata belum terlalu dilirik,” ujar Vivin.
Ia menjelaskan, investor baru akan tertarik jika pasar dan segmen wisatawan sudah terdefinisi dengan jelas. Saat ini, tren wisata global bergeser ke arah pengalaman dan keberlanjutan, dengan fokus pada ecotourism, wellness, dan cultural tourism.
Baca Juga: UU Kepariwisataan Baru Dinilai Belum Pro Industri, GIPI Minta Revisi
“Investor ingin tahu siapa target pasarnya—Gen Z, keluarga muda, atau wisatawan senior—karena masing-masing punya perilaku berbeda. Tanpa pemetaan pasar yang jelas, investor akan ragu,” tambahnya.
Vivin menilai, biaya transportasi yang tinggi dan lemahnya konektivitas antarwilayah masih menjadi hambatan utama investasi. Harga tiket pesawat domestik yang kerap setara dengan rute internasional menjadi contoh nyata lemahnya daya saing destinasi dalam negeri.
Kendala lain adalah minimnya infrastruktur digital dan kesiapan transaksi non-tunai di berbagai destinasi wisata. Banyak lokasi wisata masih bergantung pada transaksi tunai, sementara wisatawan global kini menuntut kemudahan digital.
Selain itu, kualitas sumber daya manusia di bidang perhotelan dan pelayanan masih belum merata. “Hospitality itu soal pengalaman, bukan sekadar fasilitas. Kalau tamu merasa tidak disambut dengan baik, mereka tidak akan kembali. Ini yang harus dibenahi jika ingin menarik investasi hotel dan resort kelas dunia,” kata Vivin.
Vivin menekankan bahwa paradigma investasi pariwisata kini berubah. Investor global tidak lagi hanya mengejar return on investment, tetapi juga memperhatikan tiga pilar keberlanjutan: ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Baca Juga: Wisata Kapal Pesiar Melaju Kencang, Dwidayatour Menargetkan Kontribusi Hingga 20%
“Proyek pariwisata yang baik bukan hanya menghasilkan keuntungan, tapi juga membuka lapangan kerja, memperkuat bisnis lokal, dan menjaga lingkungan serta budaya setempat,” ujarnya.
Yudistira menambahkan, kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta menjadi faktor penting untuk memperkuat ekosistem pariwisata yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan arah pengembangan yang lebih terencana, ia optimistis investasi pariwisata dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi baru bagi Indonesia dalam lima tahun ke depan.
Selanjutnya: Parlemen Prancis Setujui Kenaikan Pajak Tak Terduga untuk Perusahaan Multinasional
Menarik Dibaca: Hasil Hylo Open 2025: Fajar/Fikri Melaju Mulus ke 16 Besar, Menuju Final Keempat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News












