Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah resmi menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) No 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang salah satunya membatasi investasi smelter nikel melalui Izin Usaha Industri (IUI) di sektor nikel.
Menurut lembaga riset, Center of Economic and Law Studies (CELIOS), kebijakan ini dapat dipandang sebagai upaya koreksi terhadap laju ekspansi smelter yang dinilai berlebihan dan tidak sesuai dengan kebutuhan pasar.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa peluang rebound harga nikel tidak hanya bergantung pada jumlah produksi olahan nikel.
Oleh karena itu, pembatasan izin smelter nikel baru sebaiknya diikuti dengan ketegasan regulasi, konsistensi kebijakan dan peta jalan dekarbonisasi yang menjunjung tinggi perlindungan lingkungan dan hak masyarakat di wilayah tambang.
PP ini secara khusus menargetkan perusahaan-perusahaan pengolahan nikel baru (smelter) yang memproduksi produk antara nikel, baik yang menggunakan metode pirometalurgi (teknologi RKEF) maupun hidrometalurgi (teknologi HPAL).
Baca Juga: Masuk Bisnis Smelter Nikel, Anak Usaha SGER Kerjasama dengan Hengsheng New Energy
Mengutip data Kementerian ESDM, hingga saat ini Indonesia memiliki 54 smelter nikel yang sudah berdiri, 38 smelter dalam tahap konstruksi, dan 45 smelter dalam perencanaan.
“Jumlah Rencana Keuangan Anggaran Perusahaan (RKAP) yang tahun ini disetujui oleh Kementrian ESDM sudah sebanyak 292 izin, dengan total IUPK seluas 866.292 Ha (Hektare),” ungkap Bhima dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan, Minggu (9/11/2025).
Bhima menambahkan, dengan luas konsesi yang begitu besar dan izin tambang yang terus bertambah, moratorium smelter sebaiknya juga diikuti dengan moratorium tambang nikel.
“Meski izin smelter baru di moratorium namun tanpa kontrol di sektor hulu hanya akan memindahkan tekanan dari industri pengolahan ke kawasan tambang — memperparah kerusakan ekologis dan konflik sosial,” ujarnya.
Dalam laporan bersama, CELIOS dan Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) mencatat total kerugian pendapatan petani dan nelayan di wilayah nikel mencapai US$ 234,84 juta (Rp3,64 triliun) dalam 13 tahun ke depan.
Selain itu, terdapat potensi lebih dari 3.800 kematian dini pada tahun 2025 dan hampir 5.000 kasus pada 2030 akibat dampak lingkungan dari industri nikel.
Baca Juga: Pelaku Tambang Nikel Harap Aturan DHE Direvisi, Keluhkan Tekanan Cash Flow
Peneliti CELIOS, Attina Rizqiana, menekankan bahwa pembatasan izin smelter harus diikuti dengan pembatasan IUPK perusahaan, termasuk izin pertambangan, konsesi, dan pengolahan nikel.
“Tidak luput, langkah tegas juga harus diambil terkait perusahaan yang masih dalam tahap rencana pembangunan fasilitas, juga terkait batas waktu pembatasan,” ungkapnya.
CELIOS juga menyoroti adanya potensi kontradiksi antara moratorium izin smelter dengan rencana pembangunan smelter baru oleh Danantara, seperti proyek smelter nikel milik Vale Indonesia (INCO) dan GEM Co. Ltd. (China).
Tanpa adanya pembatasan di tingkat hulu (IUP), peta jalan dekarbonisasi yang jelas, serta integrasi kebijakan lingkungan, kebijakan pembatasan IUI berisiko hanya menjadi langkah administratif kosmetik.
“Seolah memperlambat ekspansi secara administratif, tapi tidak mengubah arah struktural pembangunan industri yang masih berbasis ekstraktivisme dan emisi tinggi,” tutupnya.
Selanjutnya: Investor Digital Mandiri Sekuritas Tembus 1 Juta SID Lewat Growin’ on Livin’
Menarik Dibaca: Tanaman Herbal untuk Obat Sakit Perut, Redakan Nyeri dengan Pengobatan Rumahan!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













