Sumber: Antara | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Proses pembentukan holding BUMN energi masih terus bergulir. Saat ini, pemerintah masih melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) yang akan menjadi dasar hukum pembentukan holding BUMN migas tersebut.
Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN, Aloysius Kiik Ro mengatakan, PP Holding BUMN Migas yang sedang dirancang, tidak mengatur penggabungkan antara anak usaha Pertamina yakni Pertamina Gas (Pertagas) dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN).
“PP tentang pembentukan holding BUMN nantinya tidak akan mengatur tentang mekanisme terkait penggabungan antara PGN dengan Pertagas,” kata Aloysius, Jumat (1/7).
Alasannya, lanjut Aloysius, karena mekanisme tersebut murni aksi korporasi oleh Pertamina. Dengan demikian, semua diserahkan kepada Pertamina. Jika Pertamina memang menolak penggabungan tersebut, tentu penggabungan Pertagas dan PGN tidak akan terjadi.
"Kalau itu corporate action. PP itu hanya soal saham negara. Kalau Pertagas karena tidak ada saham negara, adanya saham Pertamina. Jadi itu aksi korporasi. Mau inbreng, mau right issue," ujarnya.
Di sisi lain, banyak pihak mendukung agar pembentukan holding segera direalisasikan. Antara lain seperti disampaikan Direktur Eksekutif Center for Energy Policy M. Kholid Syeirazi. Menurutnya, selain meningkatkan sisi finansial, juga akan membuat tata kelola lebih baik, karena BUMN yang ada saat ini akan menjadi lebih solid dan sinkron. Dampaknya, akan membuat energi tanah air lebih berdaulat.
Kondisi demikian tentu berbeda dibandingkan saat ini. Menurut Kholid, selama ini tidak ada kendali komando sehingga BUMN sering jalan sendiri-sendiri dan terjadi persinggungan. Sebut saja masalah pipa open acces yang masih sering terjadi perdebatan. “Jadi, ibarat orkestra, holding bisa bertindak sebagai konduktor yang menyelaraskan musik,” kata Kholid.
Dampak tidak solidnya BUMN, menurut Kholid, sangat luar biasa. Salah satunya, adalah mahalnya harga gas di tanah air, dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam.
Yang tak kalah penting, lanjut dia, keberadaan holding BUMN akan mempertegas pola dua kaki yang terbukti sangat baik. Selama ini, Indonesia menerapkan tiga kaki seperti di Norwegia. Namun kenyataannya, banyak negara lain yang juga gagal, seperti Aljazair, Nigeria, dan bahkan Indonesia. “Norwegia bukan model yang patut kita tiru,” kata dia.
Itu sebabnya, lanjut Kholid, PGN memang sebaiknya beriskap legowo. Sebab, meski merupakan perusahaan publik, namun jangan lupa bahwa sebagian besar saham adalah milik pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News