Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - PANGKEP. Produsen cokelat M&M, Mars Symbioscience Indonesia yang merupakan anak usaha Mars. Inc segera mendirikan Pusat Penelitian Kakao kedua di kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Pusat Penelitan Kakao Pangkep ini ditargetkan bisa beroperasi seluruhnya pada dua tahun mendatang. Sebelumnya, Mars Indonesia telah memiliki pusat penelitian serupa di desa Tarengge, kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Pusat Penelitian Kakao Pangkep dibangun di atas lahan seluas 95,2 hektare (ha). Mars Indonesia menggelontorkan investasi sebesar US$ 4 juta atau setara dengan Rp 54,092 miliar (kurs Rp 13.523). Harapannya, pusat penelitian kedua ini bisa menggenjot produksi kakao yang tadinya sekitar 0,5 ton per hektare per tahun menjadi 1,5 ton per hektare per tahun.
"Investasi di Pangkep ini adalah fasilitas penelitian kakao kedua di Indonesia. Sesuai komitmen kami yang fokus meningkatkan kualitas produksi kakao dan keberlanjutannya," kata Frank Mars, Director of Mars. Inc dalam sambutannya pada peletakan batu pertama Pusat Penelitian Kakao di Pangkep, Sulawesi Selatan, Sabtu (18/11).
Frank menjelaskan, industri kakao telah membuka lapangan kerja bagi lebih dari 6,5 juta keluarga petani di seluruh Afrika, Amerika Selatan dan Asia Tenggara. Namun, selama enam tahun belakangan, produksi kakao tercatat menurun 40% karena serangan hama, penyakit dan praktik pertanian yang kurang tepat.
Adapun fasilitas yang dimiliki Pusat Penelitan Kakao Pangkep antara lain kebun percontohan seluas 70 ha, laboratorium seluas 238 m2 berstandar internasional, fertigasi atau pengelolaan pengairan dan pemupukan menggunakan sistem teknologi, serta pengelolaan limbah dengan mendaur ulang air.
"Perubahan iklim merupakan hal yang nyata bagi kami. Kami yang bekerja di Indonesia telah menyadari hal tersebut sejak sepuluh tahun terakhir," jelas Maryln Sumbung, Presiden Direktur Mars Symbioscience Indonesia.
Ia lanjut menjelaskan, Mars berinvestasi jangka panjang untuk mengatasi berbagai ancaman termasuk perubahan iklim, kemiskinan dan kelangkaan sumber daya. Maryln bilang menurut data industri, produksi kakao Indonesia menurun sejak tujuh tahun belakangan, yang semula 700.000 ton per tahun menjadi 300.000 ton per tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News