kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.425.000   10.000   0,41%
  • USD/IDR 16.643   -42,00   -0,25%
  • IDX 8.617   68,26   0,80%
  • KOMPAS100 1.189   7,78   0,66%
  • LQ45 855   3,60   0,42%
  • ISSI 305   2,18   0,72%
  • IDX30 439   -0,22   -0,05%
  • IDXHIDIV20 509   2,81   0,56%
  • IDX80 133   0,64   0,48%
  • IDXV30 139   1,08   0,78%
  • IDXQ30 140   0,30   0,22%

Pungutan Ekspor Biji Kakao Perlu Diimbangi Penurunan Bea Keluar


Jumat, 17 Oktober 2025 / 18:13 WIB
Pungutan Ekspor Biji Kakao Perlu Diimbangi Penurunan Bea Keluar
ILUSTRASI. Seorang pelaku usaha produk turunan kakao berupa cokelat menunjukkan biji kakao varietas BB1 pada Forum FGD di Palu, Sulawesi Tengah, Senin (4/8/2025). ANTARA FOTO/Basri Marzuki/nym. CORE menilai pungutan ekspor biji kakao yang baru ditetapkan pemerintah perlu dibarengi dengan penurunan tarif bea keluar (BK)


Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah resmi menambah daftar komoditas perkebunan yang dikenai pungutan ekspor dengan memasukkan biji kakao. 

Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2025 yang menggantikan PMK Nomor 30 Tahun 2025.

Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian, menilai pungutan ekspor biji kakao yang baru ditetapkan pemerintah perlu dibarengi dengan penurunan tarif bea keluar (BK) agar tidak menambah beban eksportir dan menekan harga di tingkat petani.

“Kalau pungutan ekspor ini tidak dibarengi dengan penurunan bea keluar, pengusaha bisa menekan harga di tingkat petani karena tetap ingin mempertahankan margin keuntungannya. Akibatnya, petani yang justru menanggung dampaknya,” ujar Eliza kepada Kontan, Jumat (17/10/2025).

Baca Juga: Manajemen Bank Nagari Tegaskan Belum Berencana IPO hingga 2027

Menurutnya, kebijakan pungutan seharusnya tidak hanya berorientasi pada peningkatan penerimaan negara, tetapi juga memastikan adanya perlindungan harga bagi petani. 

Pemerintah perlu memperkuat mekanisme harga acuan pembelian agar petani kakao memiliki kepastian pendapatan.

Dengan penyesuaian bea keluar, kebijakan pungutan justru dapat menjadi instrumen fiskal yang produktif. 

Eliza menjelaskan, pungutan ekspor mirip dengan model pada komoditas sawit, di mana dana yang dikumpulkan dapat digunakan untuk penelitian dan pengembangan (R&D), peremajaan perkebunan, serta insentif bagi petani.

“Dari sisi fiskal, pungutan ini akan menambah penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan menjadi strategi diversifikasi sumber pendapatan di tengah fluktuasi harga komoditas global,” ujarnya.

Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia, setelah Pantai Gading dan Ghana memiliki potensi besar dari kebijakan ini. Dengan volume ekspor sekitar 400.000 ton per tahun dan harga rata-rata US$ 4.000 per ton, potensi penerimaan bisa mencapai miliaran rupiah. 

Dana tersebut akan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) untuk mendukung program pengembangan industri kakao nasional.

Namun, Eliza mengingatkan agar pemerintah memastikan redistribusi dana yang adil. 

Berdasarkan pengalaman di sektor sawit, sebagian besar dana BPDP justru terserap untuk R&D hilirisasi yang lebih banyak dinikmati perusahaan besar, sementara porsi untuk petani relatif kecil.

Ia pun merekomendasikan agar BPDP menerbitkan laporan tahunan yang diaudit secara independen, dengan minimal 50% dana dialokasikan langsung kepada petani melalui program peremajaan, akses kredit murah, dan penerapan teknologi pertanian.

Selain itu, Eliza menilai kebijakan pungutan ekspor juga dapat menjadi pendorong hilirisasi industri kakao di dalam negeri. 

“Industri kakao kita saat ini memiliki banyak kapasitas menganggur karena kekurangan bahan baku. Dengan pengelolaan pungutan yang tepat, kita bisa mendorong peningkatan kapasitas produksi dan nilai tambah di dalam negeri,” jelasnya.

Ia juga menyarankan agar pemerintah memberikan insentif pajak bagi industri hilir yang bermitra dengan petani kecil, serta melibatkan koperasi petani dalam rantai pengolahan kakao untuk meningkatkan pendapatan hingga 30%.

Terakhir, Eliza menekankan pentingnya investasi pada riset varietas kakao tahan iklim dan diversifikasi produk olahan untuk memperkuat daya saing ekspor. 

Ia menilai, konsultasi antara petani, eksportir, dan industri juga perlu dilakukan sebelum revisi aturan agar tidak menimbulkan resistensi seperti yang pernah terjadi pada kebijakan pungutan sawit. 

Baca Juga: Kolaborasi Jepang-Indonesia, Jababeka Hadirkan Hunian IBUKI Sakurayama Mulai Rp1,2 M

Selanjutnya: Apa Benar Minum Kopi saat Pagi Bikin Panjang Umur

Menarik Dibaca: Apa Benar Minum Kopi saat Pagi Bikin Panjang Umur

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×