kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.407.000   24.000   1,01%
  • USD/IDR 16.580   -17,00   -0,10%
  • IDX 8.125   73,58   0,91%
  • KOMPAS100 1.120   14,21   1,28%
  • LQ45 780   7,86   1,02%
  • ISSI 292   2,64   0,91%
  • IDX30 406   2,01   0,50%
  • IDXHIDIV20 454   0,57   0,13%
  • IDX80 123   1,36   1,12%
  • IDXV30 131   1,14   0,88%
  • IDXQ30 128   0,32   0,25%

Indef: Pungutan Ekspor Kakao Masih Berorientasi pada Penerimaan Bukan Pembangunan


Kamis, 16 Oktober 2025 / 20:30 WIB
Indef: Pungutan Ekspor Kakao Masih Berorientasi pada Penerimaan Bukan Pembangunan
ILUSTRASI. Pekerja menunjukkan biji kakao yang sedang dikeringkan di salah satu pengepul di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (7/5/2021). ANTARA FOTO/Basri Marzuki/hp. Indef menilai kebijakan pemerintah mengenakan pungutan ekspor biji kakao lebih berorientasi pada penerimaan negara (revenue-driven)


Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman menilai kebijakan pemerintah mengenakan pungutan ekspor biji kakao lebih berorientasi pada penerimaan negara (revenue-driven) ketimbang pembangunan (development-driven) pada sektor perkebunan.

“Di atas kertas, kebijakan ini tampak menambah sumber penerimaan. Namun secara substansial, belum menunjukkan arah pembangunan yang menguatkan petani maupun industrialisasi komoditas,” ujar Rizal kepada Kontan, Kamis (16/10/2025).

Ia menilai, ketika produktivitas kakao nasional masih stagnan dan kesejahteraan petani belum meningkat, kebijakan pungutan tanpa return policy yang terukur justru berisiko menambah tekanan di sektor hulu.

Rizal menjelaskan, secara teoritis pungutan ekspor dapat memperbaiki struktur nilai tambah di dalam negeri apabila dibarengi dengan peningkatan kapasitas industri pengolahan. Namun dalam praktiknya, transmisi harga dari eksportir ke petani biasanya berlangsung cepat dan bersifat asimetris.

Baca Juga: Menhaj Siap Perjuangkan Lokasi Terbaik bagi Jemaah Haji Indonesia di Masyair

“Artinya, beban pungutan cenderung berakhir di tingkat petani, bukan pada eksportir atau pelaku industri besar. Padahal 95% petani kakao kita merupakan petani kecil dengan keterbatasan modal, produktivitas, dan daya tawar,” jelasnya.

Akibatnya, lanjut Rizal, niat hilirisasi justru bisa menciptakan reverse incentive, produksi menurun, daya saing melemah, dan ekspor kehilangan momentum.

Rizal menekankan pentingnya memastikan dana pungutan tidak berhenti sebagai sumber fiskal, melainkan berfungsi sebagai development fund yang benar-benar kembali ke sektor hulu. 

Pemerintah perlu merancang mekanisme yang transparan, terukur, dan berpihak pada peningkatan produktivitas petani.

“Mulai dari peremajaan tanaman, akses teknologi pascapanen, hingga pembentukan price stabilization mechanism. Sementara di sisi hilir, insentif fiskal dan dukungan investasi perlu diperkuat agar kapasitas industri pengolahan bisa menyerap bahan baku secara berkelanjutan,” paparnya.

Dengan demikian, Rizal menilai, kebijakan pungutan ekspor biji kakao seharusnya tidak sekadar menjadi instrumen penerimaan negara, tetapi bagian dari arsitektur industrialisasi kakao nasional yang inklusif dan berkeadilan.

Sebagai informasi, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah resmi menetapkan pungutan dana perkebunan dengan memasukkan biji kakao sebagai komoditas yang dikenai pungutan ekspor. 

Kebijakan baru ini menggantikan PMK Nomor 30 Tahun 2025, yang sebelumnya belum mencakup biji kakao. Dalam ketentuan terbaru yang tertuang pada lampiran PMK 69/2025, tarif pungutan ekspor biji kakao ditetapkan secara progresif mengikuti harga referensi di pasar internasional.

Baca Juga: TNI Rebut Markas OPM di Intan Jaya, 14 Anggota Separatis Tewas

Selanjutnya: Menhaj Siap Perjuangkan Lokasi Terbaik bagi Jemaah Haji Indonesia di Masyair

Menarik Dibaca: Kolaborasi Menjadi Kunci Menuju Swasembada Energi Nasional

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×