Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Penetapan harga khusus kedelai oleh Kementerian Perdagangan dalam bentuk harga jual pemerintah sebesar Rp 8.490 per kilogram masih terlalu tinggi. Dalam dua bulan, pelaku aksi ambil untung dari kebijakan tata niaga kedelai yang tidak tepat ini bisa meraup lebih dari Rp 1 triliun.
Menurut Ketua Umum Dewan Kedelai Nasional Benny A Kusbini, Rabu (11/9/2013), saat dihubungi di Lampung, tidak seharusnya para importir menjual kedelai dengan harga setinggi itu. ”Kalaupun ada kenaikan harga akibat depresiasi rupiah atas dollar AS, seharusnya baru terjadi pertengahan Oktober 2013, bukan sekarang,” katanya.
Kedelai yang dijual para importir saat ini sudah dibeli dua bulan lalu atau sebelumnya. Jadi, kedelai masih harga lama, yaitu Rp 5.600-Rp 6.000 per kilogram. Sementara depresiasi rupiah baru terjadi Agustus 2013.
Stok kedelai di tangan importir biasanya 1,5 kali kebutuhan bulanan atau 300.000 ton. Selain itu, stok di perjalanan sekitar 200.000 ton. Jadi, total stok menjadi 500.000 ton, yang dibeli dengan harga lama tersebut.
Dengan menjual kedelai Rp 8.490 per kilogram, dipotong biaya pengapalan dan asuransi, para importir masih mengantongi untung minimal Rp 2.000 per kilogram atau Rp 1 triliun hanya dalam waktu dua bulan.
Itu keuntungan minimum karena hanya 11.900 ton kedelai dijual dengan harga khusus itu. Lebih dari 488.000 ton dijual dengan harga pasar yang lebih tinggi.
Seharusnya pemerintah tidak perlu panik. Lacak dokumen impor para importir. Kenakan undang-undang subversif bagi mereka yang melakukan kartel. Ajak Direktorat Ekonomi Khusus Mabes Polri menangani dan Badan Intelijen Negara bidang ekonomi untuk mengusut cara para kartel itu bermain di tengah kesulitan.
Tak sulit bagi pemerintah kalau memang mau menyelamatkan produsen tempe dan tahu serta industri berbasis kedelai di dalam negeri. Ke depan, komoditas strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti kedelai, tidak boleh diserahkan ke pasar. Pemerintah harus mengambil alih kendali.
Benny juga menyayangkan sikap Gabungan Koperasi Produsen Tempe-Tahu Indonesia yang menerima begitu saja kesepakatan harga Rp 8.490 per kilogram. Padahal, harga itu masih tinggi.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini, mengatakan, ada indikasi kartel yang dilakukan para importir kedelai saat ini dengan membuat kesepakatan-kesepakatan yang bersifat horizontal.
”Penyebabnya, pemegang pasokan yang memiliki kekuatan menjadi price maker (penentu harga) membuat kesepakatan horizontal,” katanya.
Pada Februari 2013, Komite Ekonomi Nasional menyatakan ada indikasi kartel pangan termasuk kedelai.
Namun, Kementerian Perdagangan justru memberikan izin impor kedelai kepada importir yang terindikasi kartel. Data Indef menunjukkan, tiga importir mendapatkan kuota terbesar impor kedelai, yakni PT FKS MA sebesar 210.600 ton (46,71%), PT GCU 46.500 ton (10,31%), dan PT BSSA sebesar 42.000 ton (9,31%). (Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News