Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Perubahan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara atau yang biasa disebut UU Minerba masih menggantung.
Hal itu lantaran pemerintah belum siap untuk memberikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) untuk menggangapi draft revisi UU Minerba yang sudah diserahkan oleh Komisi VII DPR RI.
Ketua Komisi VII DPR RI Gus Irawan Pasaribu menerangkan, revisi UU Minerba merupakan inisiatif DPR yang sudah dibahas sejak tahun 2017 dan ditetapkan menjadi draft pada 10 April 2018. Draft revisi tersebut kemudian sudah disampaikan kepada Presiden RI pada 11 April 2018.
Selanjutnya, pada 5 Juni 2018, Presiden mengirimkan surat ke DPR dan menunjuk lima kementerian untuk mewakili pemerintah membahas revisi UU Minerba. Kelima kementerian itu adalah Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Dalam Negeri (kemendagri) dan Kementerian Hukum dan HAM.
"Kita belum bisa bahas kalau nggak ada DIM. Menteri ESDM baru menyampaikan DIM pada 27 Juni 2019 kemarin," kata Gus Irawan dalam Rapat Kerja Pengantar Musyawarah Pembukaan Pembicaraan Tingkat I yang digelar Kamis (18/7).
Menanggapi hal itu, Menteri ESDM Ignatius Jonan menyampaikan, pihaknya perlu melakukan sinkronisasi lintas kementerian. Khususnya dengan Kemenkeu terkait penerimaan negara, Kemenperin mengenai hilirisasi, dan Kemendagri terkait dengan perizinan di tingkat daerah.
Meski pembahasan lintas kementerian sudah dilakukan, namun Jonan mengakui bahwa baru dirinya yang memberikan paraf terhadap DIM tersebut. "Kami masih mengirimkan (DIM) tanpa paraf, baru dari ESDM saja. Kementerian lain menyusul," kata Jonan.
Jonan menjelaskan, secara garis besar ada 12 poin yang menjadi DIM RUU Minerba. Enam diantaranya merupakan usulan dari pemerintah, dan enam lainnya menjadi usulan pemerintah dan DPR.
Jonan menuturkan, enam poin yang menjadi usulan pemerintah adalah: (1) penyelesaian permasalahan antar sektor, (2) penguatan konsep wilayah pertambangan, (3) meningkatkan pemanfaatan batubara sebagai sumber energi nasional, (4) memperkuat kebijakan peningkatan nilai tambah minerba, (5) mendorong peningkatan eksplorasi untuk meningkatkan penemuan deposit minerba, dan (6) pengaturan khusus tentang izin pengusahaan batuan.
Adapun, enam poin yang menjadi usulan pemerintah dan DPR ialah: (1) mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, (2) tersedianya rencana pertambangan minerba, (3) penguatan peran pemerintah pusat dalam bimbingan dan pengawasan kepada pemerintah daerah, (4) pemberian insentif kepada pihak yang membangun smelter dan PLTU Mulut Tambang, (5) Penguatan peran BUMN, dan (6) perubahan KK/PKP2B menjadi IUPK dalam rangka kelanjutan operasi.
Namun, pada tempat yang sama, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto tak menampik bahwa pemerintah belum satu suara. Airlangga bilang, DIM tersebut masih memiliki sejumlah catatan dari Kementerian terkait. "Pemerintah belum bulat mengirim DIM. Kami perlu membahas DIM untuk diharmonisasi pemerintah," kata Airlangga.
Pembahasan revisi UU Minerba itu pun masih menggantung. Apalagi, periode DPR RI saat ini akan berakhir pada 30 September 2019 mendatang, sehingga waktu masa sidang efektif hanya tinggal tiga minggu lagi.
Alhasil, DPR pun meminta pemerintah untuk kembali melakukan sinkronisasi dan menyepakati DIM UU Minerba. Sayang, baik DPR maupun pemerintah tak memberi jangka waktu pasti kapan DIM ini akan dirampungkan. "Pokoknya di kami sudah selesai, bola ada di pemerintah," kata Gus Irawan.
Yang jelas, sambungnya, DPR meminta supaya revisi UU Minerba segera dirampungkan. Alasannya, UU Minerba saat ini dinilai belum cukup memenuhi kebutuhan hukum dalam penyelenggaraan dan pengusahaan minerba.
"Ada beberapa hal terdapat kekosongan hukum, ada tumpang tindih yang harus diselaraskan. Ini kan bisa menghambat kegiatan usaha minerba," ungkap Gus Irawan.
Ketua Indonesia Mining Institute Irwandy Arif sepakat bahwa UU Minerba saat ini memiliki banyak kekurangan. Menurut Irwandy, adanya revisi yang sampai lima kali dilakukan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 yang merupakan turunan dari UU Minerba, serta persoalan aktual mengenai perizinan PKP2B generasi pertama, menjadi indikasi ketidak sempurnaan dalam UU Minerba saat ini.
Irwandy menilai, revisi UU Minerba ini perlu dilakukan dengan berhati-hati, dan harus dilakukan secara komprehensif agar bisa menjawab kebutuhan industri pertambangan saat ini. "Jadi terlihat revisi-revisi PP Nomor 23/2010 bertentangan dengan UU Minerba. Kemungkinan polemik ini muncul karena UU Minerba tidak lagi aplikatif dengan kondisi ril industri pertambangan saat ini," kata Irwandy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News