Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah penerimaan pajak yang seret, pemerintah mengandalkan sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menggenjot Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Pada awal tahun ini, pemerintah melalui Kementerian ESDM gencar merilis kebijakan untuk mengeduk PNBP. Beberapa kebijakan yang sudah terlihat seperti, pertama, kebijakan kenaikan tarif royalti mineral dan batubara (minerba) dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku di lingkungan Kementerian ESDM.
Kedua, kebijakan baru iuran migas yang mencakup bisnis BBM di SPBU dan distribusi gas melalui PP Nomor 9 Tahun 2025 tentang Besaran dan Penggunaan Iuran Badan Usaha Dalam Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi Pada Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
Baca Juga: Menteri ESDM Bahlil Pastikan Pasokan BBM untuk Nelayan Banjarmasin Aman
Ketiga, kebijakan HBA Batubara untuk transaksi (termasuk ekspor).
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengungkapkan Kementerian ESDM menargetkan penerimaan PNBP sektor ESDM pada tahun 2025 sebesar Rp 254, 49 triliun. Target ini lebih besar daripada yang dipatok pada tahun 2024 sebesar Rp 234,2 triliun.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, realisasi setoran PNBP dari sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) sepanjang 2024 turun 10% secara year on year (yoy) menjadi Rp269,5 triliun.
Meski begitu, angka tersebut masih melampaui target tahun lalu sebesar Rp 234,2 triliun, dengan capaian mencapai 115% dari yang direncanakan.
Dadan menuturkan, strategi pemerintah menggenjot PNBP di sektor energi antara lain, pertama, melakukan percepatan penyelesaian peraturan perundangan seperti perubahan revisi PP 26 Nomor 2022 tentang Jenis dan Tarif PNBP.
“Di mana terdapat penyesuaian tarif yang dapat meningkatkan PNBP,” kata Dadan kepada Kontan, Kamis (20/3).
Strategi berikutnya, melakukan penguatan pengawasan penerimaan negara dengan cara melakukan audit kepatuhan wajib bayar, penerapan penghentian layanan (automatic blocking system).
Kementerian ESDM juga melakukan pemanfaatan data pembayaran PNBP melalui integrasi aplikasi e-PNBP dengan simphoni aplikasinya, penguatan tata kelola dari hulu ke hilir sektor ESDM di dalamnya termasuk peningkatan sinergi dan perluasan IT (aplikasi simbara), mempercepat penawaran WK Migas, optimalisasi penagihan piutang PNBP, peningkatan mutu layanan sektor ESDM, hingga peningkatan koordinasi antar instansi atau lembaga.
Baca Juga: Kementerian ESDM Beri Sinyal Aturan Kenaikan Royalti Minerba Terbit Sebelum Lebaran
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai kebijakan kenaikan tarif royalti minerba berpotensi meningkatkan PNBP, terutama dari sektor batubara yang menjadi kontributor utama, seperti yang terlihat pada tahun 2023 ketika PNBP dari royalti batubara meningkat lebih dari dua kali lipat berkat implementasi PP Nomor 26 Tahun 2022.
“Namun, penurunan harga komoditas global dan kondisi ekonomi yang lesu saat ini dapat mengurangi produksi dan ekspor, berisiko menekan PNBP meskipun tarif royalti dinaikkan,” kata Yusuf kepada Kontan, Kamis (20/3).
Sementara itu, lanjut Yusuf, kebijakan iuran migas yang mencakup bisnis BBM di SPBU dan distribusi gas bisa menjadi sumber pendapatan tambahan jika konsumsi energi tetap stabil, tetapi dalam kondisi ekonomi yang lesu, konsumsi energi cenderung menurun sehingga berpotensi mengurangi penerimaan.
Selain itu, Yusuf menyoroti jika iuran ditetapkan terlalu tinggi, hal ini dapat membebani pelaku usaha dan konsumen, yang pada akhirnya justru menekan aktivitas ekonomi di sektor migas dan mengurangi PNBP.
Di sisi lain, kebijakan HBA batubara bertujuan memastikan harga yang digunakan untuk menghitung royalti lebih mencerminkan kondisi pasar, yang dapat meningkatkan PNBP jika harga global stabil atau naik.
“Namun, ketika harga batubara turun seperti yang terjadi pada 2023, pendapatan dari royalti juga akan terdampak negatif, apalagi saat ini proyeksi permintaan global melemah, sehingga memperparah tekanan pada produksi dan ekspor,” ungkapnya.
Baca Juga: Royalti Minerba Naik, Kementerian ESDM: Pemerintah Tak Membunuh Industri Pertambangan
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara menilai naiknya tarif royalti minerba memang dibutuhkan pemerintah untuk empat tujuan utama.
Pertama, meningkatkan penerimaan negara dari sektor minerba ditengah rendahnya harga komoditas minerba. Jatuhnya harga batubara sebesar 23,5% selama satu tahun terakhir dan nikel anjlok 10,55% diperiode yang sama berisiko tinggi ke merosotnya PNBP tahun ini.
“Jadi tarif royalti memang harus dilakukan adjustment untuk topang PNBP,” kata Bhima kepada Kontan, Kamis (20/3).
Kedua, kenaikan tarif royalti minerba bermanfaat agar terjadi shifting dari sektor minerba ke sektor yang lebih berkelanjutan.
“Kalau tarif royalti naik, sektor minerba kan mendapat disinsentif, nah diharapkan pengusaha mulai diversifikasi ke sektor energi terbarukan misalnya,” tutur Bhima.
Ketiga, memperketat pengawasan. pemerintah harus mewaspadai lonjakan ekspor minerba ilegal karena naiknya tarif royalti.
Terakhir, dari penerimaan royalti minerba diharapkan dana digunakan untuk melakukan subsidi dan insentif bagi sektor EBT.
“Jangan sampai royalti mau naik tarifnya tapi untuk keperluan yang tidak berkaitan dengan ketahanan dan transisi energi,” tandasnya.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar memahami bahwa Pemerintah sedang mencari dan menggali sumber pendapatan untuk mengatasi APBN.
Namun, kata Bisman, jika upaya tersebut dengan kebijakan menaikkan royalti dan pungutan pada usaha sektor pertambangan dan migas, Pemerintah perlu meninjau dan mempertimbangkan ulang karena jika menaikkan royalti dan iuran pada jangka pendek benar akan mendapatkan penerimaan negara lebih besar namun justru akan berdampak ke depan sektor usaha pertambangan akan kolaps.
“Hari ini sektor usaha pertambangan sedang tidak baik-baik saja, harga komoditas cenderung turun sementara beban operasional semakin tinggi,” tuturnya kepada Kontan, Kamis (20/3)
Menurut Bisman, jika ada kenaikan royalti dan iuran maka akan menambah beban pelaku usaha yang sudah berat makin berat.
“Jadi sebaiknya kebijakan kenaikan tersebut ditunda, karena hanya akan menambah penerimaan negara yang tidak signifikan namun dampak buruknya bagi pelaku usaha itu pasti,” ungkapnya.
Selanjutnya: Pemerintah Diminta Bentuk Roadmap Terkait Deregulasi dan Debirokratisasi Industri
Menarik Dibaca: Magalarva Ekspor Pakan Hewan dari Limbah Organik ke AS
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News