Reporter: Leni Wandira | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri alas kaki Indonesia tengah mencermati dampak penerapan tarif tinggi Amerika Serikat (AS) yang mulai berlaku sejak awal Agustus 2025.
Tarif baru sebesar 19% untuk sejumlah kode HS sepatu dinilai bisa menekan daya saing ekspor nasional, terutama di pasar AS yang selama ini menjadi tujuan utama.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Yoseph Billie Dosiwoda mengatakan, kinerja ekspor sepatu ke AS hingga Mei 2025 masih mencatatkan tren stabil.
Hal ini lantaran tarif yang dikenakan masih bersifat sementara sebesar 10% setelah sempat melonjak ke 32% pada 2 April 2025. Namun, kondisi diperkirakan bisa berubah dengan penerapan tarif 19% yang berlaku penuh mulai Agustus.
“Sejauh ini belum terlihat penurunan signifikan karena data resmi baru bisa dilihat di akhir 2025. Namun, kami perlu wait and see bagaimana konsumsi di dalam negeri AS. Jika kenaikan tarif ini menekan daya beli, maka permintaan sepatu bisa menurun dan otomatis ekspor kita ke AS akan terdampak,” kata Yoseph kepada Kontan, Rabu (3/9/2025).
Baca Juga: Meski Indeks Manufaktur Membaik, Industri Sepatu Lokal Tetap Lesu
Yoseph bilang, posisi tarif 19% untuk Indonesia saat ini setara dengan Kamboja dan hanya sedikit lebih rendah dibandingkan Vietnam yang dikenakan tarif 20%. Kondisi ini membuat buyer cenderung memilih negara dengan harga lebih kompetitif meskipun kualitas produk sepatu Indonesia dikenal rapi dan unggul.
“Kalau tarif kita minimal tidak lebih rendah dari kompetitor, jelas buyer akan mencari harga terbaik. Artinya, kita harus memastikan akses ke pasar AS tetap terjaga, sembari memaksimalkan peluang di kawasan lain,” ujar Yoseph.
Aprisindo menilai pasar Eropa bisa menjadi sasaran perluasan ekspor yang penting, meski bukan sepenuhnya menggantikan pasar AS.
Yoseph menekankan percepatan perundingan EU–CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) sebagai peluang strategis bagi industri alas kaki nasional. “Jika FTA ini terwujud, ekspor ke Eropa bisa meningkat signifikan,” katanya.
Lebih jauh, Yoseph mengingatkan risiko penurunan permintaan dari AS dalam jangka menengah akibat kenaikan tarif yang berpotensi memicu kenaikan harga ritel alas kaki di pasar tersebut. Untuk itu, selain diplomasi perdagangan ke AS dan percepatan negosiasi dengan Uni Eropa, pemerintah juga didorong memperkuat iklim industri dalam negeri melalui program deregulasi.
Ia mencontohkan beberapa langkah yang dibutuhkan, antara lain penyederhanaan perizinan seperti amdal dan perpanjangan izin Rintek B3, penghapusan PPN subkontrak ekspor, kemudahan persyaratan SNI, hingga subsidi listrik dan gas bagi industri.
Baca Juga: PMI Manufaktur Indonesia Kembali Ekspansi, Ekonomi Domestik Membaik?
Selain itu, penegakan hukum atas pungutan liar dan gangguan eksternal juga dinilai penting untuk menjamin kelangsungan usaha.
“Deregulasi ini membutuhkan kerja sama lintas sektor, mulai dari pemerintah pusat, daerah hingga aparat penegak hukum. Tujuannya jelas, agar industri alas kaki tetap kondusif dan mampu menjaga momentum pertumbuhan investasi meski tekanan global meningkat,” kata Yoseph.
Dengan situasi ini, pelaku industri alas kaki nasional kini berada pada fase waspada sembari melakukan diversifikasi pasar dan berharap dukungan kebijakan yang lebih progresif.
Selanjutnya: Realisasi Terpasang PLTS Atap Sebesar 538 MWp Hingga Juli 2025
Menarik Dibaca: Kenapa Sunscreen Menggumpal? Ini 6 Penyebab Sunscreen Pilling yang Harus Diketahui
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News