Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui bahwa pemerintah menghadapi ketidakseimbangan dalam penerapan energi fosil dan non-fosil.
Untuk tahun 2024, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp56,9 triliun untuk subsidi energi selama periode Januari-Mei 2024.
Rinciannya adalah Rp6,6 triliun untuk subsidi BBM, Rp26,8 triliun untuk subsidi LPG 3 kg, dan Rp23,5 triliun untuk subsidi listrik.
Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur, Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Hendra Iswahyudi, menyatakan bahwa pemakaian energi dalam negeri masih kurang seimbang dari segi ekuitas, keamanan, dan keberlanjutan.
Baca Juga: Penggunaan Batubara Cetak Rekor Tertinggi, Program Pengembangan EBT Jalan di Tempat?
"Terkait subsidi, pemakaian energi harus seimbang antara ekuitas, keamanan, dan keberlanjutan dalam pemakaian energi EBT. Namun, Indonesia masih kurang seimbang. Misalnya, nilai energi keamanannya A, energi ekuitasnya B, tapi keberlanjutannya C," ujarnya dalam acara media gathering yang diadakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jakarta Pusat, Rabu (3/7).
Hendra menambahkan bahwa dalam peringkat pengelolaan energi terkait keberlanjutan, Indonesia masih berada di peringkat menengah.
"Dalam daftar peringkat, kita berada di posisi menengah, sekitar peringkat 50-an dari 110 negara. Pemerintah harus seimbang, memikirkan keberlanjutan tapi juga harus mempertimbangkan keterjangkauan," tambahnya.
Hendra menjelaskan bahwa jika dibandingkan dengan energi fosil, energi terbarukan sebenarnya lebih murah dalam jangka panjang.
"Dalam jangka panjang, energi terbarukan lebih murah. Energi fosil bukan solusi berkesinambungan," katanya.
Ia juga menambahkan bahwa energi terbarukan di Indonesia lebih bersifat non-tradable atau menghasilkan produk yang tidak dapat diperdagangkan di luar negeri.
"Base di Indonesia ini kan non-tradable, kayak panas bumi yang memang ada di sini, jadi bukan yang sifatnya tradable. Kalau tradable kan ada pengaruh dari tekanan lain, misalnya fluktuasi harga," tutupnya.
Baca Juga: Dorong Pengembangan Panas Bumi, Kementerian ESDM Paparkan Beragam Insentif
Tantangan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) tahun ini, menurut Hendra, berasal dari empat sektor.
Pertama, tantangan keekonomian dan teknologi, di mana inovasi teknologi di bidang EBT mendorong keandalan sistem tenaga listrik dan menciptakan harga yang lebih kompetitif.
Kedua, kendala dari Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), yang melibatkan penguasaan teknologi, waktu pelaksanaan proyek, dan kesiapan industri pendukung dalam aspek teknis maupun keekonomian.
Ketiga, terkait dengan Supply and Demand, dan terakhir, pelaksanaan proyek yang harus memberikan kemudahan dalam perizinan, penyiapan lahan, serta mengatasi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan proyek EBT.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News