Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan bakal terjadi kemunduran jadwal dalam proyek pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) untuk komoditas bauksit. Proyek hilirisasi bauksit ini diperkirakan meleset setahun dari jadwal yang sudah ditargetkan.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Yunus Saefulhak mengungkapkan, awalnya pemerintah menargetkan adanya enam smelter bauksit baru pada tahun 2022. Namun, tambahan enam smelter tersebut ditaksir bakal mundur lantaran pembangunannya yang terhambat pandemi Covid-19.
Yunus menyebut, covid-19 membawa sejumlah kendala dalam pembangunan smelter, di antaranya ialah kendala pengiriman alat-alat smelter dan kedatangan tenaga ahli dari luar negeri.
Apalagi, kondisi pandemi dan dampak ekonomi yang ditimbulkannya membuat beberapa investor menunda investasinya.
"Diperkirakan pembangunan yang sebelumnya ditargetkan selesai pada tahun 2022, kemungkinan akan mundur hingga akhir tahun 2023. Namun pemerintah tetap mendorong tidak mundur terlalu jauh," kata Yunus dikutip Kontan.co.id, Jum'at (24/7).
Baca Juga: Proyek Smelter Tersendat, Banyak Bijih Nikel yang Tak Terserap
Namun menurut Yunus, hingga saat ini belum ada perubahan rencana yang disampaikan secara resmi oleh enam perusahaan yang membangun smelter bauksit tersebut. Yang jelas, ketika nanti ada tambahan enam smelter, maka Indonesia bakal memiliki sembilan smelter bauksit.
Delapan smelter di antaranya berstatus Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUP OPK) di bawah Kementerian ESDM, dengan total kapasitas input mampu menyerap bijih bauksit sebesar 4,6 juta ton dalam setahun. Yunus membeberkan, untuk saat ini ada tiga smelter bauksit yang beroperasi.
Dua di antaranya merupakan IUP OPK dan satu smelter berada di bawah kewenangan Kementerian Perindustrian dengan status Izin Usaha Industri (IUI). Ketiga smelter yang telah beroperasi itu adalah: Pertama, PT Indonesia Chemical Alumina (IUP OPK) dengan kapasitas output yang mampu menghasilkan produk berupa 300.000 Chemical Grade Alumina (CGA).
Kedua, PT Well Harvest Winning (WHW) Alumina Refinery (IUP OPK) dengan kapasitas produk 1 juta Smelter Grade Alumina (SGA). Ketiga, PT Inalum (IUI) dengan kapasitas 250.000 aluminium ingot per tahun.
Sebelumnya Kontan.co.id memberitakan bahwa pembangunan smelter secara umum memang diperkirakan akan mengalami kemunduran dari yang sudah ditargetkan.
Staff Khusus Menteri ESDM bidang percepatan tata kelola mineral dan batubara (minerba), Irwandy Arief mengungkapkan, pandemi Covid-19 memang sangat berdampak terhadap proyek smelter.
Meskipun menurutnya, tidak tercapainya target pembangunan smelter bukan semata-mata karena Covid-19. Dari sisi jadwal operasional, ada dua simulasi yang dipaparkan Irwandy.
Pertama, jika pandemi Covid-19 bisa diatasi pada pertengahan tahun 2020, maka pembangunan smelter, khususnya yang saat ini progresnya masih 40% ke bawah bakal tertunda sampai dengan akhir tahun 2022.
Baca Juga: Suplai bijih nikel berlebih, Kementerian ESDM yakin serapan bakal seimbang pada 2022
Kedua, jika pandemi Covid-19 berlangsung hingga akhir tahun 2020, maka pembangunan smelter, khususnya yang saat ini progresnya masih 40% ke bawah, bakal tertunda hingga tahun 2023
Sebagai konsekuensi dari adanya proyek yang tertunda, investasi di lini pembangunan smelter pun bakal bergeser. Dari sisi investasi pun, Irwandy membeberkan dua simulasi.
Pertama, jika pandemi Covid-19 selesai pada pertengahan tahun ini, maka investasi pada proyek smelter diperkirakan hanya akan terealisasi di angka US$ 1,9 miliar atau sekitar 50% dari target. Kedua, jika Covid-19 berlanjut hingga akhir tahun, maka rencana investasi smelter di tahun ini akan bergeser ke tahun 2021 mendatang.
Adapun, rencana investasi smelter di tahun ini mencapai US$ 3,76 miliar. Jauh di atas realisasi investasi smelter tahun lalu yang hanya berada di angka US$ 1,41 miliar.
Khusus untuk smelter bauksit yang pembangunannya masih berjalan, rencana investasi tahun ini awalnya ditargetkan sebesar US$ 2,2 miliar. Pada tahun depan naik menjadi US$ 2,9 miliar dan US$ 178,56 juta pada tahun 2022.
Secara total, untuk keseluruhan smelter bauksit yang berjumlah sembilan smelter, investasinya mencapai US$ 7,94 miliar.
Mengenai kemungkinan mundurnya jadwal operasional dari enam smelter bauksit yang baru ke tahun 2023, Yunus mengatakan bahwa hal tersebut tidak akan mengganggu produksi dan bisnis nikel di tanah air. Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 alias UU Minerba yang baru, ekspor bauksit masih dimungkinkan hingga tahun 2023.
"Telah diamanatkan untuk mineral logam tertentu untuk dapat dilakukan ekspor hingga 3 tahun semenjak UU perubahan tersebut terbit," sebut Yunus.
Baca Juga: Aneka Tambang butuh pasokan listrik 75 MW untuk smelter feronikel di Halmahera Timur
Hal tersebut merujuk pada Pasal 170 A ayat (1) UU Minerba, yang mengatur bahwa pemegang Kontrak Karya (KK), IUP OP atau IUP Khusus (IUPK) OP mineral logam, dapat melakukan penjualan produk mineral logam tertentu yang belum dimurnikan dalam jumlah tertentu ke luar negeri dalam jangka waktu paling lama tiga tahun sejak undang-undang ini berlaku.
Dengan syarat, (a) telah melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian, (b) dalam proses pembangunan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian, (c) telah melakukan kerja sama pengolahan dan/atau pemurnian.
Sementara itu, Pasal 170 A ayat (3) mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai produk mineral logam tertentu yang belum dimurnikan dan jumlah tertentu penjualan ke luar negeri diatur dalam Peraturan Menteri.
Sebelumnya, Yunus mengatakan bahwa ekspor konsentrat tembaga, bijih besi dan bauksit yang sudah dicuci (washed bauxite) masih diperbolehkan, sesuai batasan minimum dalam Permen ESDM Nomor 25 tahun 2018.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News