Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kapasitas listrik terpasang dari energi panas bumi memang terus bertambah. Namun, investasi dan pengembangan panas bumi belum juga melesat.
Investor tampaknya masih menahan diri untuk mengembangkan panas bumi. Indikasinya, bisa dilihat dari lelang wilayah kerja panas bumi (WKP) tahun 2019 lalu. Dari ketiga WKP yang ditawarkan untuk dilelang, tidak ada badan usaha yang tertarik memasukkan dokumen penawaran.
Adapun, ketiga WKP tersebut adalah ketiga WKP itu adalah, WKP Lainea di Sulawesi Tengah, WKP Gulunggung di Jawa Barat, dan WKP Gunung Wilis di Jawa Timur.
Baca Juga: Keekonomian tarif dan risiko eksplorasi masih jadi Sorotan pengembangan panas bumi
Sementara pada tahun ini, Kementerian ESDM berencana menawarkan lima WKP. Sayangnya, masih belum jelas WKP mana yang akan ditawarkan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, ada sejumlah penyebab mengapa penawaran WKP sepi peminat.
Salah satunya, kata Fabby, adalah pertimbangan tingkat keekonomian proyek, lantaran harga listrik yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 dinilai tidak menarik untuk investasi.
"Selain itu, investor juga wait and see terhadap langkah pemerintah dan kabinet baru," kata Fabby kepada Kontan.co.id, Minggu (23/2).
Menurut Fabby, peluang lelang WKP bisa laku akan tergantung dari kebijakan dan regulasi terkait harga jual listrik yang dihasilkan. Sejalan dengan itu, investor juga butuh kepastian terhadap kontrak pembelian listrik oleh PT PLN (Persero).
Baca Juga: Kementerian ESDM tawarkan lima wilayah kerja panas bumi di tahun ini
"Kalau dari sisi harga dianggap tidak menarik saya kira investor tidak akan ikut lelang. Jadi keberhasilan lelang tergantung pada kebijakan pemerintah serta kepastian PLN sebagai off taker untuk membeli listrik," jelasnya.
Fabby mengatakan, tarif seharusnya merefleksikan keekonomian Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP). Namun masalahnya, keekonomian panas bumi berbeda-beda, tergantung pada kondisi reseavoir, kapasitas pembangkit, tingkat risiko eksplorasi, lokasi, dan pembiayaan.
Fabby memberikan gambaran, dalam 10 tahun terakhir, tarif kontrak panas bumi ada di kisaran US$ 0,11 -US$ 0,12 per kWh. "Walau pun ada juga PLTP baru yang bisa di US$ 0.08 per kwh," ungkapnya.
Menurut Fabby, jika pemerintah ingin menekan harga panas bumi di bawah US$ 0,1 per kWh, diperlukan intervensi dalam bentuk pengambilalihan risiko eksplorasi serta pengurangan beberapa pungutan dan pajak.
Terkait skema harga, Fabby juga menyoroti wacana Feed In Tarif (FiT) atau harga sesuai keekonomian proyek. Pasalnya, saat ini pemerintah tengah membahas Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengatur skema tarif listrik Energi Baru dan Terbarukan (EBT) serta Peraturan Menteri (Permen) ESDM yang khusus mengatur soal panas bumi.
Baca Juga: Kementerian ESDM targetkan tambahan 140 MW dari tiga pembangkit panas bumi
"Kebijakan FiT untuk panas bumi bisa saja tetapi kembali pada besaran harganya. Menurut saya, perlu sedikit ada relaksasi, khususnya untuk proyek yang sudah ada di-pipeline atau yang akan masuk di fase brown field. Tapi secara bertahap pemerintah mendorong agar harga panas bumi bisa lebih rendah lagi," terangnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi juga mengamini bahwa faktor keekonomian harga dan juga kepastian kontrak pembelian listrik menjadi dua hal utama yang dipertimbangkan investor.
"Permasalahan utama di dalam pengembangan panas bumi adalah tarif sesuai dengan keekonomian proyek dan kepastian pembelian oleh PLN. Mungkin pengembang butuh kepastian lebih lanjut mengenai dua hal ini. Sehingga lebih baik menunggu dikeluarkannya aturan yang lebih menarik," ungkap Priyandaru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News