Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
Fabby mengatakan, tarif seharusnya merefleksikan keekonomian Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP). Namun masalahnya, keekonomian panas bumi berbeda-beda, tergantung pada kondisi reseavoir, kapasitas pembangkit, tingkat risiko eksplorasi, lokasi, dan pembiayaan.
Fabby memberikan gambaran, dalam 10 tahun terakhir, tarif kontrak panas bumi ada di kisaran US$ 0,11 -US$ 0,12 per kWh. "Walau pun ada juga PLTP baru yang bisa di US$ 0.08 per kwh," ungkapnya.
Menurut Fabby, jika pemerintah ingin menekan harga panas bumi di bawah US$ 0,1 per kWh, diperlukan intervensi dalam bentuk pengambilalihan risiko eksplorasi serta pengurangan beberapa pungutan dan pajak.
Terkait skema harga, Fabby juga menyoroti wacana Feed In Tarif (FiT) atau harga sesuai keekonomian proyek. Pasalnya, saat ini pemerintah tengah membahas Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengatur skema tarif listrik Energi Baru dan Terbarukan (EBT) serta Peraturan Menteri (Permen) ESDM yang khusus mengatur soal panas bumi.
Baca Juga: Kementerian ESDM targetkan tambahan 140 MW dari tiga pembangkit panas bumi
"Kebijakan FiT untuk panas bumi bisa saja tetapi kembali pada besaran harganya. Menurut saya, perlu sedikit ada relaksasi, khususnya untuk proyek yang sudah ada di-pipeline atau yang akan masuk di fase brown field. Tapi secara bertahap pemerintah mendorong agar harga panas bumi bisa lebih rendah lagi," terangnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi juga mengamini bahwa faktor keekonomian harga dan juga kepastian kontrak pembelian listrik menjadi dua hal utama yang dipertimbangkan investor.
"Permasalahan utama di dalam pengembangan panas bumi adalah tarif sesuai dengan keekonomian proyek dan kepastian pembelian oleh PLN. Mungkin pengembang butuh kepastian lebih lanjut mengenai dua hal ini. Sehingga lebih baik menunggu dikeluarkannya aturan yang lebih menarik," ungkap Priyandaru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News