Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto
Sebagai informasi, ALDO memang memiliki 4 lini usaha yang berbeda, yakni kertas, kertas konversi, polimer, dan kimia. Tiga lini usaha di antaranya dijalankan oleh tiga anak usaha yang berbeda, yaitu PT Eco Paper Indonesia (EPI) yang bergerak di bidang manufaktur kertas (kertas cokelat), PT Swisstex Naratama Indonesia (SNI) yang bergerak di bidang distribusi bahan kimia tekstil, dan PT Alfa Polimer Indonesia (API) yang bergerak di bidang manufaktur polimer seperti lem kayu, lem kertas, dan lain-lain.
Sementara itu, lini usaha manufaktur kertas konversi dijalankan oleh Alkindo Naratama sendiri selaku entitas induk.
Sampai akhir semester pertama tahun ini, akumulasi penjualan bersih dari keempat lini usaha ini sudah mencapai Rp 519,62 miliar atau kurang lebih setara dengan 47,23% dari total target penjualan Rp 1,1 triliun.
Secara terperinci, realisasi tersebut terdiri atas penjualan kertas sebesar Rp 183,67 miliar, kertas konversi Rp 138,06 miliar, kimia Rp 121,40 miliar, dan polimer Rp 76,46 miliar.
Baca Juga: Alkindo Naratama memupuk peluang bisnis kemasan makanan
Selain membidik target penjualan sebesar Rp 1,1 triliun, ALDO juga masih optimistis masih bisa mengejar target laba bersih sebesar Rp 66 miliar sampai tutup tahun ini. Herwanto tidak menampik bahwa kinerja bottom line perusahaan memang masih kurang memuaskan di enam pertama.
Mengintip laporan keuangan perusahaan, laba bersih yang dapat diiatribusikan kepada pemilik entitas induk turun 18,96% secara tahunan atau year-on-year (yoy) dari semula Rp 22,67 miliar di semester I 2019 menjadi Rp 19,06 miliar pada semester I 2020 lalu.
Herwanto bilang, penurunan tersebut dipicu oleh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang sempat terjadi di semester pertama tahun ini, sebab ALDO memiliki utang berdenominasi mata uang dolar AS.
Meski begitu, ke depannya Herwanto optimistis kendala serupa tidak akan menghambat pencapaian target laba bersih perusahaan secara signifikan sampai tutup tahun ini.
“Saat itu utang kita belum di-hedge, jadi salah satu yang menggerus adalah utang USD. Tapi belakangan kita sudah mulai hedge sebagian dari utang-utang USD. Dan rupiahnya juga ada kecenderungan untuk lebih menguat,” ujar Herwanto.