Reporter: Noverius Laoli | Editor: Adi Wikanto
Jakarta. Pemerintah akan menerapkan kebijakan baru terkait subsidi solar. Ini tertuang di Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 26 tahun 2016 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar minyak nabatis jenis biodiesel dalam kerangka pembiayaan Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Dalam beleid baru ini, pemerintah akan menghilangkan defisni solar subsidi dan non subsidi. Artinya, semua solar yang dicampur biodiesel akan mendapatkan subsidi.
Tentu saja kebijakan ini akan berdampak pada membengkaknya pengeluarkan BPDP untuk mensubsidi solar. Kendati demikian, kebijakani ini belum bisa direalisasi karena masih belum ada peraturan teknis yang mengatur secara detail kebijakan terbaru ini.
Ketua Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan pihaknya mendukung terbitnya Permen ESDM yang baru ini. Aprobi berharap peraturan baru ini dapat mempercepat proses penggunakan B20 yang akan mengurangi banyak emisi.
Dimana ditargetkan pada tahun 2030, emisi dapat berkurang sekitar 29%. Namun Aprobi mendesak agar pemerintah mengeluarkan aturan teknis dalam menjalankan kebijakan ini. Khususnya untuk mekanisme subsidi dan non subsidi.
"Kami masih mempertanyakan apakah yang untuk non subsidi dan subsidi dibiayai sebagian oleh BPDP atau dibebankan kepada masyarat, kami belum tahu," ujarnya kepada KONTAN, Minggu (23/10).
Untuk itu, aturan turunan dari Permen ESDM No.26 tahun 2016 harus segera diterbitkan. Sebab banyak hal yang masih belum jelas dan ini tidak baik bagi produsen biodiesel.
Pihaknya juga belum tahu berapa anggaran yang digunakan untuk subsidi solar yang dicampur biodiesel ke depan. "Subsidi itu kan, perbedaan antara harga biodisel dan solar, dan harga itu berubah setiap hari, sehingga sudah menentukan berapa jumlah subsidi yang dibutuhkan untuk itu," tambahnya.
Selain itu, Paulus meminta agar pemerintah menghapus beleid yang mengatur terkait peraturan kalau Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BUBBN) wajib mencari sendiri Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BUBBM). Kebijakan ini riskan karena berpotensi membuat BUBBN tidak mau mencari BUBBM karena berbagai alasan seperti jarak yang jauh dan tinggal di pelosok.
Akibatnya, BUBBN bisa saja hanya mencari BUBBM yang dekat saja untuk menjual biodiesel mereka, sementara BUBBM yang ada dipelosok tidak dapat.
Nah bila suatu saat pemerintah memaksa BUBBN untuk menyalurkan biodisel ke BUBBM yang ada di pelosok, maka hal ini justru melanggar aturan. Sebab dalam peraturan sebelumnya, pemerintah menunjuk langsung kemana BUBBN menyalurkan produk mereka sehingga penyaluran merata di seluruh Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News