Reporter: Asnil Bambani Amri |
JAKARTA. Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) berharap pemerintah segera merevisi penghitungan Bea Keluar (BK) kakao dari semula menggunakan mata uang Amerika Serikat menjadi mata uang rupiah. Hal itu dilakukan agar petani tidak merugi baik dari segi pergerakan harga kakao dunia maupun dari segi perubahan nilai mata uang.
“Besaran BK tersebut cukup diatur berdasarkan kilogram seperti Rp 1000 per kg dan berlaku jika harga kakao di harga dunia US$ 2700 per ton,” kata Zulhefi Sikumbang, Ketua Umum Askindo di Jakarta, Rabu (20/10).
Menurutnya, permintaan tersebut mengacu kepada hasil pengalaman selama 6 bulan pengenaan BK kakao yang membuat petani banyak yang merugi karena harga jualnya yang rendah karena dipotong BK.
Pembayaran BK secara defacto dibayar oleh petani bukanlah oleh eksportir, walaupun BK lebih rendah sekalipun eksportir mengaku tetap mengurangi harga beli dari petani. Sementara keinginan pemerintah untuk mendirikan pabrik pengolahan tak kunjung ada realisasinya, sehingga produksi kakao petani hanya bisa di ekspor.
“Sampai kapan petani merugi? Sementara janji pemerintah membuat pabrik pengolahan kakao belum juga terealisasi,” terangnya.
Zulhefi mengaku tidak mudah baginya merubah BK tersebut. Apalagi, Wakil menteri Perdagangan Mahendra Siregar Selasa (19/10) lalu menyatakan kalau kebijakan BK itu akan tetap dipertahankan pemerintah. Zulhefi hanya menghimbau agar besaran BK itu diganti menggunakan rupiah saja dan ditetapkan ketika harga kakao berada diatas US$ 2700 per ton.
Jika harga dibawah US$ 2700 per ton masih dikenakan BK, maka harga beli kakao oleh eksportir kepada petai juyga akan ikut turun. “Jika harga ini turun dan tetap bayar BK, maka dikhwatirkan petani kakao tidak lagi mau menanam kakao,” terang Zulhefi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News