Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merevisi sanksi terkait wajib pasokan batubara dalam negeri alias domestic market obligation (DMO).
Sehingga pada tahun 2020 nanti, sanksi yang dikenakan tidak lagi berupa pemotongan kuota produksi.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Sujatmiko menyampaikan, pihaknya tengah memfinalisasi skema sanksi yang baru.
Baca Juga: Subsidi pelanggan listrik golongan 900 VA batal dicabut, ini alasannya
Bentuknya, kata Sujatmiko, berupa denda atau kompensasi yang dibayarkan oleh pelaku usaha yang tidak memenuhi DMO.
Sujatmiko bilang, detail skema sedang disiapkan. Kementerian ESDM pun tengah membuat mekanisme denda agar bisa sesuai dengan tingkat kalori batubara yang dimiliki perusahaan.
"Untuk kompensasi yang sesuai dengan tingkat kalorinya masing-masing, sedang kita kaji di level teknis," kata Sujatmiko saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (29/12).
Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan, skema sanksi kali ini dibuat lebih detail lantaran akan tercantum dalam payung hukum khusus berupa Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM.
Baca Juga: Kurangi impor LPG, Kementerian ESDM lakukan uji terap DME di Sumatera Selatan
"(Kepmen besaran DMO) itu terpisah dengan sanksi. Karena itu masih ada waktu untuk membahasnya. Kesimpulannya seperti apa, tunggu tanggal mainnya nanti" kata Bambang.
Sebab, Menteri ESDM Arifin Tasrif menegaskan bahwa pihaknya sudah menyiapkan Kepmen terkait besaran DMO dan juga kelanjutan harga patokan batubara untuk kelistrikan di tahun depan.
Dalam Kepmen tersebut, kata Arifin, persentase DMO dipatok stabil, yakni 25% dari produksi. Sedangkan harga patokan batubara yang seharusnya berakhir di tahun 2019 ini, akan berlanjut dengan harga US$ 70 per ton.
Baca Juga: Sanksi DMO akan diganti denda, begini komentar asosiasi dan pelaku usaha
"Sudah ada (Peraturan menteri untuk memperpanjang harga patokan). Tetap lanjut, untuk dalam negeri (DMO batubara) sama seperti biasa, (Harganya) stabil," kata Arifin saat ditemui di Kantornya, Jum'at (29/12).
Bambang Gatot sebelumnya menjelaskan bahwa pihaknya mengaku kesulitan untuk menerapkan sanksi DMO batubara yang berlaku saat ini. Seperti diketahui, sanksi bagi perusahaan yang tidak memenuhi 25% DMO batubara ialah pemotongan kuota produksi di tahun berikutnya.
Hal itu sesuai dengan yang diatur dalam Kepmen ESDM Nomor 78 K/30/MEM/2019 tentang penetapan persentase minimal penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri tahun 2019.
Baca Juga: Strategi industri alat berat pada 2020 di tengah kelesuan bisnis tambang batubara
Dalam beleid tersebut, persentase minimal DMO ditetapkan sebesar 25%, dan bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban tersebut akan dikenakan sanksi berupa pemotongan besaran produksi dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) di tahun berikutnya.
Namun, Bambang mengakui bahwa penerapan sanksi pemotongan produksi adalah hal yang sulit dilakukan. Sebab, dalam pemotongan produksi ada pertimbangan terhadap dampak sosial, pengurangan tenaga kerja, pendapatan daerah hingga penerimaan negara.
"Dalam faktanya itu nggak bisa, sulit diterapkan. Kami cari formula baru," ujar Bambang.
Baca Juga: Mind Id fokus selesaikan proyek hilirisasi tambang yang ada
Pada tahun 2018 lalu, ada 34 perusahaan batubara yang tidak memenuhi kewajiban DMO tersebut. Para produsen batubara itu berasal dari pemegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) maupun Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi (OP).
Kendati begitu, Sujatmiko menegaskan bahwa sanksi berupa pemotongan kuota produksi masih akan tetap berlaku di tahun 2019 ini. "Untuk tahun ini, ketentuan itu masih tetap berlaku, belum berubah," tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News