Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. PLTU Cirebon 1 akan dipangkas umurnya tujuh tahun lebih awal di mana pembangkit ini hanya akan beroperasi sampai Desember 2035 dari sebelumnya sampai Juli 2042. Adapun proyek ini telah mengantongi komitmen pendanaan dari skema energi transition mechanism (ETM) dan transaksi ini dapat selesai pada semester I 2024.
Sebagai informasi, proyek pemensiunan dini PLTU Cirebon 1 telah mendapat dukungan Asian Development Bank (ADB) dan Indonesia Investment Authority (INA) untuk pendanaan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengapresiasi finalisasi transaksi pensiun dini PLTU Cirebon. Menurutnya transaksi ini dapat menjadi model untuk PLTU lainnya yang berpotensi dipensiunkan dini di masa yang akan datang.
Mengingat ada potensi 15 GW sampai dengan 16 GW PLTU berdasarkan kajian ETM Indonesia yang dilakukan ADB.
Baca Juga: Hasil COP-20 di Dubai, PLTU Cirebon-1 Resmi Disuntik Mati Pada tahun 2035
“Perihal transaksi yang akan selesai pada semester I 2024 pada PLTU Cirebon 1 akan mencakup finalisasi revisi power purchase agreement (PPA) final dengan PLN sesuai dengan hasil technical and financial impact assessement dan kemudian pembayaran dana kompensasi pensiun dini PLTU dari ETM kepada pemilik PLTU Cirebon,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (4/12).
Menurut Fabby, pemangkasan umur PLTU Cirebon 1 menjadi 2035 merupakan sesuatu yang optimal berdasarkan efektivitas emisi dan biaya pensiun dini untuk konteks PPA PLTU Cirebon. Namun, menurut kajian IESR, usia yang lebih ideal untuk mengakomodasi target Paris Agreement adalah 20 tahun.
Dia berharap untuk PLTU lain yang pensiun dini setelah 2030, waktu pengakhiran operasi bisa lebih awal lagi.
Terlepas dari keberhasilan Cirebon, Fabby mengemukakan, masih belum ada kandidat PLTU yang dipensiunkan dini sebelum 2030. Padahal ini cukup penting untuk membantu Indonesia mencapai puncak emisi sektor listrik di 2030.
Sebagai catatan IESR menilai diperlukan pengakhiran 8 GW sampai dengan 9 GW PLTU di 2030, untuk mencapai puncak emisi, dan peningkatan bauran energi terbarukan lebih dari 45%, berdasarkan proyeksi pertumbuhan listrik 5% per tahun.
Adapun untuk PLTU Pelabuhan Ratu yang digadang-gadang juga akan disuntik mati justru membutuhkan waktu lebih lama dalam prosesnya. Fabby menilai kondisi pembangkit Pelabuhan Ratu masih baik dan usianya masih muda.
Baca Juga: Menteri Keuangan: Indonesia Butuh Rp 1,5 Kuadriliun untuk Transisi Energi Hingga 2030
“Saya kira struktur financing untuk PLTU Pelabuhan Ratu akan berbeda dengan PLTU Cirebon, dan ada kemungkinan diperlukan intervensi dari pemerintah untuk membuat transaksinya financially feasible,” terangnya.
IESR pun menyarankan agar pemerintah mengkaji opsi pemensiunan dini PLTU lainnya, misalnya PLTU Adipala 660 MW, PLTU Paiton unit 1 & 9, serta PLTU Suralaya 1-2, 5 sampai dengan 8 yang sejatinya bisa dilakukan sebelum 2030.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News